Betul sekali, dan Kang Dadang memang sengaja membawa beberapa buku seni hasil penerbitannya, buku mengenai kerja sama antara seniman keramik tersohor Perancis dengan sastrawan. Kehadiran buku tersebut disambut pekikan kegirangan Ariane, karena baginya perajin keramik yang diterbitkan oleh perusahaan suami saya, adalah guru dan idolanya. Senang sekali melihat ekspresi wajahnya yang puas.
Obrolan harus terhenti karena kami harus makan siang, apalagi anak-anak sudah tak tahan menahan lapar. Ariane meminta kami untuk tak sungkan mendatanginya bila kami membutuhkan sesuatu. Ahh ternyata tak terlalu liar kehidupan sisi kemanusiaan di kampung ini.
Usai makan siang yang telat, kami memutuskan berjalan santai. Kali ini bukan hutan yang kami tuju, ada rasa trauma juga! Kami berjalan-jalan melihat kampung Régagnas, yang sudah hampir menjadi milik satu keluarga. Simpatik sekali perjalanan kami. Bertemu kuda, yang dengan akrabnya menghampiri kami, membiarkan kami mengelus mereka. Bazile, malah bercakap-cakap, seolah-olah kuda itu memang bisa diajak ngobrol olehnya, membuat kami jadi tertawa melihatnya.
Berjalan di alam bebas memang sangat nikmat. Gurih terasa di kalbu. Sampailah kami di sebuah tempat di mana puluhan kuda terdapat. Sebuah lantunan musik berirama oriental terdengar keras dari sebuah bangunan. Kami mendekat dengan hati-hati karena tertulis tempat pribadi. Ketika mendekat, rupanya sebuah bangunan tempat kuda dilatih.
Seekor kuda, berwarna cokelat dan hitam mengkilat, begitu gagah, bagaikan staria, berputar-putar dengan derapan kakinya yang kokoh. Seorang wanita muda, memegang bit kuda (tali dari peralatan kuda di bagian kepala), begitu anggun pertemuan antara manusia dengan hewan. Si kuda berlari seolah menari, sang guru dengan tenang mengendalikan setiap gerakan muridnya. Kami tak bisa berlama-lama melihat pertunjukan mempesona itu, karena sadar kedatangan kami membuat kuda mulai tak berkonsentrasi. Seperti yang diceritakan Ariane, adiknya adalah pelatih khusus kuda.
Ketika kembali ke penginapan, sepupu Kang Dadang dan istrinya sudah datang. Rupanya mereka disediakan penginapan sendiri, sebelah tempat kami. Jadilah kampung yang tadinya berisi hanya kami mulai ada beberapa penghuni. Malam tahun baru kami lewati dengan sangat simpatik dan diisi banyak tawa.
Kami saling menerka, karena menurut Ariane, hari ini ibunya pun ada di tempat dan Ariane yang katanya sudah kembali dari Paris dengan suami dan anaknya. Namun ketika kami keluar dari penginapan, hanya kegelapan saja yang terlihat dari tempat tinggal mereka. Kami mulai saling bergurau, karena seolah mereka memang tidak pernah ada dan saat ini kami sedang berlibur di kampung jadi-jadian. Lucu memang bila membayangkan, saat itu, bunyi yang terdengar hanya dari kami. Hanya lampu dari penginapan kami yang menyala...
Hari terakhir di Régagnas yang juga merupakan hari pertama di tahun 2015, matahari menyambut dengan kehangatan lembut. Sarapan bersama sekeluarga membawa keceriaan, melupakan banyak keganjilan yang kami dapati beberapa hari ini.
Tak ingin membuang waktu, kami membereskan tas, karena hari itu berencana untuk mampir ke sebuah desa yang terkenal dengan kincir batu antiknya, Vissec namanya. Matahari yang semakin hangat, membuat kami memutuskan untuk berpiknik ria. Apalagi sisa makanan semalam masih banyak. Ketika kami akan meninggalkan penginapan, kami lihat Ariane sedang berjalan menuju ke arah kami. Kesempatan yang saya gunakan untuk menanyakan putrinya yang seusia dengan Bazile. Ia hanya tersenyum dan berkata "Suami dan anak saya ada di dalam rumah, mereka tak senang berada di luar".
Gagal sudah rasa penasaran kami ingin melihat keluarga Ariane. Rumah Ariane, hingga kami meninggalkan penginapan, masih sama, kaku, tak ada suara dan kesan dingin. Sayang sekali kami tak sempat berkenalan dengan suami dan putrinya. Tapi seperti yang dia katakan, suami dan anaknya tak senang keluar rumah. Terus terang, baru kali ini saya berlibur dengan rasa aneh, sesuatu yang ganjil tak mau pergi.
Angin memang terasa dingin, namun sinar mentari membuat badan nyaman sekali menapaki jalan. Saya kagum, karena di jalanan yang rasanya hanya cukup buat menapak, namun pepohonan di sepanjang kami berjalan, tidak hanya terawat dan sehat juga diberi nama, kadang informasi dari mana asalnya. Di sinilah kadang saya merasa, betapa kemajuan cara berpikir masyarakat di sini yang selalu haus dengan ilmu dan rasa keingintahuan sangat lebih.
Setelah berjalan sekitar satu jam, mulailah terdengar suara air deras. Sungai Foux yang membuat irama aliran air begitu kencang, hingga saya merasa antara gairah ingin mencicipi dengan kaki kesegarannya namun ngeri akan kuatnya air mengalir. Dan ternyata memang ada peringatan kewaspadaan untuk tidak mencoba bermain dengan air di Sungai Foux.
Kincir air dari batu membuat saya tak habis berpikir, bagaimana dulu orang bisa membawa hingga turun ke sini, dengan beban berat yang rasanya mustahil, apalagi mengingat jalanan yang rasanya rawan untuk kaki berpijak. Karena kami saja para pelancong dibuat sangat berhati-hati padahal tangan kami tak ada beban. Tapi itulah keindahan teknologi zaman dahulu, menunjukkan betapa kekuatan tubuh manusia bisa menjadi sebuah mesin canggih.
Saat itu kami duduk dengan alas karpet alam, rerumputan. Hanya beberapa langkah jurang dalam. Menjadi penyeberang hampa dengan batas kegagahan pegunungan.
Liburan kali ini memang unik. Kami dibuat untuk memiliki kenangan bercampur. Kini bila saya mengingat kembali, kekuatan dari pengalaman yang kami lalui memang tak mungkin bisa terlupakan. (DINI KUSMANA MASSABUAU)