Inilah kisah lanjutan liburan Dini Kusmana Massabuau bersama keluarga di desa berpenduduk 9 orang di Perancis...
---
UDARA semakin dingin, menggigit. Sarung tangan yang saya kenakan rasanya hanya basa basi, karena jari jemari tetap dibuat beku. Ketika tangan kecil Bazile saya genggam, wahhh... sarung tangannya pun begitu dingin. Bazile semakin rewel, karena udara dan gelap. Kang Dadang (David), mencoba mencari sinyal telepon, ternyata nihil. Hati-hati kami berjalan, dengan lampu dari telepon genggam saya, hanya berdasarkan nalar saja kami menuju. Menyeramkan memang, ternyata tersasar di hutan. Adam menggoda adiknya, dengan berbagai macam cerita sihir dan srigala, membuat Bazile semakin panik, namun membuat kakaknya malah terkekeh.
Saya itu paling takut gelap, mati lampu saja, serasa sesak napas. Sementara ini gelap dalam keluasan yang kami tak tahu di mana batasnya. Apa yang menunggu kami pun tak bisa kami kira. Tapi demi si kecil, saya mencoba santai, biar pun jantung sudah serasa mau lepas, saking berdetak kencang.
Setitik cahaya bergerak dari arah berlawanan. Kami berempat melihat dengan kebingungan. Kunang-kunang? Ahhh... mana mungkin. Semakin lama cahaya itu semakin besar dan mendekat. Bunyi lolongan anjing membuat Bazile menjerit histeris. "Srigala dan nenek sihir!" Badannya rapat erat, bagai lem menempel di tubuh ibunya. Tapi kami yakin, bunyi lolongan itu lebih mirip anjing.
Benar, seekor anjing dan seorang pria rupanya yang datang dari arah berlawanan. Antara senang bertemu orang dan curiga, lidah kami kelu, hingga pria tua itu berkata keras. "Hehhh, akhirnya saya bisa menemukan kalian, untung anjing saya cerdik!. Dasar orang kota, jalan-jalan di hutan seperti jalan-jalan di pertokoan, tak bawa senter, tak tahu waktu, huh!" dengus bapak tua itu.
Sambil memberikan dua senter kepada saya dan Kang Dadang, dia bercerita. Bukannya dia senang mengintip, namun dia melihat kedatangan kami di Desa Régagnas. Begitu juga saat kami keluar menuju hutan. Awalnya dia pikir kami hanya akan berjalan santai layaknya turis, namun ketika pulang usai mengurus kudanya, dilihatnya tempat kami tinggal masih gelap. Karena waktu sudah pukul 19.00 dan ketika melihat mobil kami tapi tetap di parkiran semula, dia sadar jika kami masih berada di hutan, dan kemungkinan besar nyasar.
Sebelum mencari ke hutan, orang tua sempat mengetuk berkali-kali pintu penginapan kami untuk menyakinkan jika kami memang tak ada di tempat. Akhirnya dengan anjingnya, dia memutuskan mencari kami, karena katanya dirinya tak ingin, melihat di koran besoknya jika ditemukan 4 mayat beku di tengah hutan.
Kang Dadang heran, karena menurutnya saat kami datang, seolah kampung Régagnas tak berpenghuni, bahkan pemilik penginapan pun tak ada menyambut kami, sesuatu yang tak biasa bagi kami.
"Huh! Jangan heran, siapa yang mau tinggal di kampung buntu begini, apalagi kampung ini sudah dijajah oleh keluarga pemilik penginapan. Bayangkan 700 hektar semuanya milik mereka. Saya cuma punya satu rumah dan halaman kecil, semua sudah mereka kuasai, huh!" dengus Kang Dadang.
Sepertinya memang kampung yang kami tinggali memiliki cerita tersendiri antara penduduknya. Dan kami memilih menarik diri dari persoalan pelik ini. Ketika akhirnya sampai, rasa lega yang luas serasa layaknya kehausan lalu menemukan air untuk diteguk dengan nikmat.
Akibat pengalaman kesasar ini, David memutuskan untuk meminta sepupu dan istrinya datang bergabung bersama kami. Rupanya suami saya merasa lebih nyaman jika ada orang yang dikenalnya untuk menghabiskan malam ke dua di desa ini, apalagi memang terus terang saya sendiri tak bisa membayangkan, harus melewati malam tahun baru, dengan suasa sunyi dan cukup ganjil bagi kami.
Tanpa disangka malamnya kami tidur dengan nyenyak. Pagi di hari itu, ketika kami turun ke ruang bawah, menuju dapur, brrrrr... ruangan sangat terasa dingin, padahal pemanas kami pasang terus. Sarapan pagi dengan santai, menjadi lebih tenang, saat sepupu Kang Dadang berkata ia akan tiba sekitar pukul 3 sore, karena semalam waktu kami meminta mereka datang, keduanya ragu.
Tujuan pertama yaitu Saint Jean de Bruel, karena lebih dekat. Saat itu pas tanggal 31 Desember 2014, jadi suasana yang saya bayangkan adalah persiapan sebuah kota menyambut tahun baru. Namun saat memasuki kota tersebut, beberapa restoran yang kami datangi semuanya tutup. Tertulis tutup hingga 4 Januari 2015.
Bahkan yang lebih mengejutkan, toko roti dan dan sayuran, waktu kami datangi, mereka sedang bersiap-siap untuk mulai membereskan tempat, karena pukul 12 siang mereka akan tutup dan baru akan buka lagi tanggal 2 Januari 2015. Wah tentu saja kami kecewa, rencana menikmati santapan siang dan berjalan-jalan jadi gagal.
Tak mau membuang waktu, kami langsung menuju kota yang lebih besar, Nant. Saya dan Kang Dadang, berkomentar, "Wajar kali ya jika kota tadi tutup namanya juga kota kecil. Kalau Nant kan kota turistik, pastilah mereka akan menyambut malam tahun baru, dan rasanya aneh kalau kota turis akan seperti kota Saint Jean de Bruel, yang ada malah tutup semua."
Kecele! Bahkan kota Nant pun semua restorannya tutup. Dengan papan tulisan sama, tutup dari tanggal 25 Desember 2014 hingga 4 Januari 2015. Sampai keliling satu kota, semua restoran, tak ada satu pun yang buka. Antara kecewa, bingung dan lucu karena perut sudah mulai keroncongan, yang ada kami berempat jadi geli. Beda sekali dengan di Indonesia, mau di kampung hingga kota besar, hari libur yang ada malah digunakan kesempatan untuk mencari penghasilan.
Ini yang ada malah sebaliknya, mereka tak peduli soal aji mumpung, yang dipikirkan adalah, hari libur justru digunakan juga untuk para komersial berlibur atau menikmati malam tahun baru dengan orang-orang terdekat, ketimbang melayani orang.
Tapi untungnya toko roti dan minimarket masih buka. Jadi kami langsung menggunakan kesempatan itu untuk berbelanja, untuk makam malam. Dan membeli beberapa makanan untuk piknik di siang itu, berhubung keinginan semula makan di restoran gagal total!
Usai berbelanja, kami menuju daerah di mana berdasarkan peta terdapat hutan kecil, asyik untuk berpiknik. Terus terang, dalam hati, bertanya dengan suhu 5 derajat apakah mungkin makan di udara terbuka. Namun melihat antusias anak-anak, jadilah niat itu kami laksanakan.
Dobil menuju ke penginapan, karena rasanya hanya tempat itu yang memungkinkan kami untuk makan siang, Bazile tak berhenti mengoceh. Ia merasa terpukau melihat banyaknya pemburu dengan bedil besar. Bertemu pemburu bukan pertama kali bagi kami, tapi memang kali ini sangat berbeda, apalagi akhir tahun, rasanya baru pertama kali kami melihatnya.
Saat memarkir mobil di samping kandang kuda, seorang perempuan berusia 30-an, menghampiri kami. "Bonjour... Anda keluarga Massabuau? Saya Ariane, pemilik penginapan ini," katanya.
Dan jadilah perbincangan seputar sejak kedatangan kami. Ariane, menerangkan jika dirinya, suami dan anaknya, baru kembali dari Paris, usai melakukan pameran keramik karyanya, karena itu tak sempat menyambut kami. Sementara ibunya yang menjadi pemilik 700 hektar di kampung Régagnas ini, akan datang sore nanti. Ariane terlihat sangat ramah dan simpatik serta mengaku memiliki anak seusia Bazile.
Betul sekali, dan Kang Dadang memang sengaja membawa beberapa buku seni hasil penerbitannya, buku mengenai kerja sama antara seniman keramik tersohor Perancis dengan sastrawan. Kehadiran buku tersebut disambut pekikan kegirangan Ariane, karena baginya perajin keramik yang diterbitkan oleh perusahaan suami saya, adalah guru dan idolanya. Senang sekali melihat ekspresi wajahnya yang puas.
Obrolan harus terhenti karena kami harus makan siang, apalagi anak-anak sudah tak tahan menahan lapar. Ariane meminta kami untuk tak sungkan mendatanginya bila kami membutuhkan sesuatu. Ahh ternyata tak terlalu liar kehidupan sisi kemanusiaan di kampung ini.
Usai makan siang yang telat, kami memutuskan berjalan santai. Kali ini bukan hutan yang kami tuju, ada rasa trauma juga! Kami berjalan-jalan melihat kampung Régagnas, yang sudah hampir menjadi milik satu keluarga. Simpatik sekali perjalanan kami. Bertemu kuda, yang dengan akrabnya menghampiri kami, membiarkan kami mengelus mereka. Bazile, malah bercakap-cakap, seolah-olah kuda itu memang bisa diajak ngobrol olehnya, membuat kami jadi tertawa melihatnya.
Seekor kuda, berwarna cokelat dan hitam mengkilat, begitu gagah, bagaikan staria, berputar-putar dengan derapan kakinya yang kokoh. Seorang wanita muda, memegang bit kuda (tali dari peralatan kuda di bagian kepala), begitu anggun pertemuan antara manusia dengan hewan. Si kuda berlari seolah menari, sang guru dengan tenang mengendalikan setiap gerakan muridnya. Kami tak bisa berlama-lama melihat pertunjukan mempesona itu, karena sadar kedatangan kami membuat kuda mulai tak berkonsentrasi. Seperti yang diceritakan Ariane, adiknya adalah pelatih khusus kuda.
Ketika kembali ke penginapan, sepupu Kang Dadang dan istrinya sudah datang. Rupanya mereka disediakan penginapan sendiri, sebelah tempat kami. Jadilah kampung yang tadinya berisi hanya kami mulai ada beberapa penghuni. Malam tahun baru kami lewati dengan sangat simpatik dan diisi banyak tawa.
Kami saling menerka, karena menurut Ariane, hari ini ibunya pun ada di tempat dan Ariane yang katanya sudah kembali dari Paris dengan suami dan anaknya. Namun ketika kami keluar dari penginapan, hanya kegelapan saja yang terlihat dari tempat tinggal mereka. Kami mulai saling bergurau, karena seolah mereka memang tidak pernah ada dan saat ini kami sedang berlibur di kampung jadi-jadian. Lucu memang bila membayangkan, saat itu, bunyi yang terdengar hanya dari kami. Hanya lampu dari penginapan kami yang menyala...
Hari terakhir di Régagnas yang juga merupakan hari pertama di tahun 2015, matahari menyambut dengan kehangatan lembut. Sarapan bersama sekeluarga membawa keceriaan, melupakan banyak keganjilan yang kami dapati beberapa hari ini.
Tak ingin membuang waktu, kami membereskan tas, karena hari itu berencana untuk mampir ke sebuah desa yang terkenal dengan kincir batu antiknya, Vissec namanya. Matahari yang semakin hangat, membuat kami memutuskan untuk berpiknik ria. Apalagi sisa makanan semalam masih banyak. Ketika kami akan meninggalkan penginapan, kami lihat Ariane sedang berjalan menuju ke arah kami. Kesempatan yang saya gunakan untuk menanyakan putrinya yang seusia dengan Bazile. Ia hanya tersenyum dan berkata "Suami dan anak saya ada di dalam rumah, mereka tak senang berada di luar".
Gagal sudah rasa penasaran kami ingin melihat keluarga Ariane. Rumah Ariane, hingga kami meninggalkan penginapan, masih sama, kaku, tak ada suara dan kesan dingin. Sayang sekali kami tak sempat berkenalan dengan suami dan putrinya. Tapi seperti yang dia katakan, suami dan anaknya tak senang keluar rumah. Terus terang, baru kali ini saya berlibur dengan rasa aneh, sesuatu yang ganjil tak mau pergi.
Angin memang terasa dingin, namun sinar mentari membuat badan nyaman sekali menapaki jalan. Saya kagum, karena di jalanan yang rasanya hanya cukup buat menapak, namun pepohonan di sepanjang kami berjalan, tidak hanya terawat dan sehat juga diberi nama, kadang informasi dari mana asalnya. Di sinilah kadang saya merasa, betapa kemajuan cara berpikir masyarakat di sini yang selalu haus dengan ilmu dan rasa keingintahuan sangat lebih.
Setelah berjalan sekitar satu jam, mulailah terdengar suara air deras. Sungai Foux yang membuat irama aliran air begitu kencang, hingga saya merasa antara gairah ingin mencicipi dengan kaki kesegarannya namun ngeri akan kuatnya air mengalir. Dan ternyata memang ada peringatan kewaspadaan untuk tidak mencoba bermain dengan air di Sungai Foux.
Kincir air dari batu membuat saya tak habis berpikir, bagaimana dulu orang bisa membawa hingga turun ke sini, dengan beban berat yang rasanya mustahil, apalagi mengingat jalanan yang rasanya rawan untuk kaki berpijak. Karena kami saja para pelancong dibuat sangat berhati-hati padahal tangan kami tak ada beban. Tapi itulah keindahan teknologi zaman dahulu, menunjukkan betapa kekuatan tubuh manusia bisa menjadi sebuah mesin canggih.
Saat itu kami duduk dengan alas karpet alam, rerumputan. Hanya beberapa langkah jurang dalam. Menjadi penyeberang hampa dengan batas kegagahan pegunungan.
Liburan kali ini memang unik. Kami dibuat untuk memiliki kenangan bercampur. Kini bila saya mengingat kembali, kekuatan dari pengalaman yang kami lalui memang tak mungkin bisa terlupakan. (DINI KUSMANA MASSABUAU)