Hampir tidak ada ketegangan karena faktor rasial di Bangka Belitung (Babel). Bahkan, orang-orang justru mengingat Bangka Belitung sebagai tempat perlindungan saat kerusuhan melanda Jakarta, Mei 1998. ”Banyak orang Jakarta datang ke Bangka Belitung dan hidup tenang di sini,” ujarnya.
Isyak mengatakan, salah satu kunci sukses akulturasi di Bangka Belitung adalah perasaan senasib. Tidak ada eksklusivitas dan segregasi berdasarkan etnis di hampir semua sektor kehidupan di Bangka Belitung.
”Amat mudah menemukan orang Tionghoa menjadi buruh angkut, pekerja kasar, dan tentu saja pedagang di sini. Persebaran itu memungkinkan tumbuh perasaan senasib di antara orang Babel,” ujarnya.
Alasan lainnya dapat dilacak lebih lama lagi. Pada abad ke-17 Masehi, ribuan pria didatangkan ke Babel sebagai pekerja tambang timah atau bekerja di sektor pendukungnya. Karena datang sebagai lajang, banyak di antara mereka akhirnya menikah dengan penduduk setempat.
”Hampir seluruh Tionghoa Babel saat ini sebenarnya keturunan pekerja tambang yang menikah dengan orang Melayu,” ujar Ahiong.
Kampung-kampung berdasarkan suku memang tetap ada. Kampung Melayu biasanya di dekat kebun dan hutan. Sebab, penghasilan utama mereka memang dari berkebun. Sementara Tionghoa tinggal dekat pasar karena mereka berdagang.