Masyarakat lebih cenderung tertarik mengonsumsi daging unggas yang lebih dulu populer, seperti ayam dan bebek.
Karena itu, Warung Sangrai pun tetap menghadirkan alternatif menu yang sudah biasa dikenal oleh masyarakat dari olahan ayam pejantan.
”Mulai bisa diterima. Di banyak tempat, banyak yang ingin bermitra dengan kita. Dianggap bisnis yang unik, anti-mainstream. Enggak umum. Orang yang belum pernah makan, awalnya mungkin memang merasa aneh karena karakter dagingnya beda,” ujar Ishak.
Menyasar konsumen menengah ke atas, harga per porsi daging puyuh di Warung Sangrai dimulai dari yang paling murah Rp 25.000 per porsi puyuh lokal.
Biasanya, konsumen di kawasan wisata, seperti Bandung, akan membeludak pada akhir pekan atau musim libur panjang. Seperti pada libur panjang akhir pekan lalu, omzet warung yang biasanya hanya Rp 10 juta per hari bisa melonjak hingga lebih dari Rp 20 juta.
Mempekerjakan total lebih dari 100 karyawan, pendiri Warung Sangrai Johann Kevin Tirtha awalnya tertarik menggarap hidangan berbahan baku puyuh karena melihat peluang bisnis yang masih terbuka lebar.
Kala itu, Johann sekolah di Australia dan melihat konsumsi puyuh yang cukup bagus di ”Negeri Kanguru”.
Di beberapa negara lain, puyuh juga menjadi primadona karena kandungan nutrisinya yang bagus. Tak sekadar enak dan lezat, sehat ala puyuh pun perlu.... (MAWAR KUSUMA)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 7 Mei 2017, di halaman 31 dengan judul "Puyuh Berani Tampil Beda".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.