LABUAN Bajo, ibu kota Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, menjadi salah satu dari 10 destinasi unggulan nasional.
Namun, wajah kota ini sejak ditetapkan menjadi daerah otonomi 2015 nyaris tidak banyak berubah. Jalannya masih sempit, tidak ada trotoar, bahkan lampu jalan pun sangat terbatas.
Bunyi klakson mobil bersahutan di ruas jalan Kampung Ujung sampai Kampung Tengah Labuan Bajo, Manggarai Barat, Sabtu (6/5/2017).
Pengendara harus lebih bersabar melewati jalan itu. Belasan turis asing berjalan kaki di badan jalan sambil memikul ransel di punggung. Ruas jalan itu tidak memiliki trotoar yang layak bagi pejalan kaki.
Ruas-ruas jalan di Labuan Bajo tidak memiliki trotoar, halte bus, saluran air, dan di beberapa titik ruas jalan itu masih gelap gulita pada malam hari.
(BACA: Pasca Kunjungan Rossi, Nama Labuan Bajo Makin Mendunia)
Buruknya sistem drainase membuat setiap terjadi hujan selalu muncul kubangan air di beberapa titik.
Pelataran parkir Bandara Komodo pun tidak memiliki sistem drainase yang baik sehingga terjadi genangan di sejumlah titik saat hujan.
Wilayah Kampung Ujung sampai Kampung Tengah termasuk kawasan yang padat aktivitas masyarakat, wisatawan, pedagang, warung dan restoran, kantor kesyahbandaran, pelabuhan, perhotelan, dan tempat hiburan.
Sampah-sampah berserakan di sejumlah titik. Meski pemda menempatkan tempat sampah di beberapa titik, warga lebih suka membuang sampah sesuai selera.
(BACA: Dikunjungi Valentino Rossi, Ini 5 Obyek Wisata Menarik di Labuan Bajo)
Pelayanan air bersih pun belum menyentuh warga kelas menengah ke bawah. Padahal, pipa-pipa milik PDAM setempat tergeletak di banyak tempat tanpa air di sejumlah tempat.
Hampir 95 persen kebutuhan sayur, buah-buahan, kebutuhan ayam potong, daging sapi, dan bumbu dapur di hotel-hotel dan restoran bagi kebutuhan wisatawan didatangkan dari Bima dan Makassar.
Padahal, kawasan Lembor dan Cancar yang berjarak 70-90 kilometer arah barat Labuan Bajo merupakan wilayah pertanian yang amat subur dengan air berlimpah. Namun, petani dan peternak setempat belum didorong untuk menyuplai kebutuhan tersebut.
Minim gagasan
Pemerhati masalah pariwisata dan lingkungan Manggarai Barat, Marsel Agot SVD, menilai, pemerintah daerah nyaris tidak memiliki ide dan kreativitas untuk mengembangkan pariwisata di Labuan Bajo dan sekitarnya, termasuk menata kota agar lebih bersih dan apik.
Pemerintah cenderung membiarkan kondisi dan potensi yang ada berkembang secara alami.
Kota Labuan Bajo juga dibiarkan kering kerontang. Di sisi kiri dan kanan jalan tidak ditanami pohon. Padahal, pohon bukan semata-mata untuk penghijauan dan keindaan kota, melainkan juga menjadi tempat yang nyaman bagi pejalan kaki, terutama para turis yang suka jalan kaki dan bersepeda.
”Ini kota wisata, kota rekreasi. Seharusnya ditata sedemikian rupa sehingga menjadi kota yang nyaman, menyenangkan, dan memiliki daya tarik. Menjual pariwisata sama dengan menjual keindahan, kebersihan, kesopanan, keramahan, kenyamanan, dan kreativitas lokal,” tambah Agot.
Penilaian serupa ditegaskan Koordinator Komunitas Peduli Lingkungan dan Pariwisata Labuan Bajo Robert Kendy Diaz.
Dia menilai pemerintah pusat cukup agresif membangun Labuan Bajo di bidang pariwisata dan ekonomi kreatif. Namun, semangat yang sama tak diikuti pemda setempat dalam menata dan membenahi wilayahnya.
Padahal, dengan semakin meningkatnya jumlah kunjungan wisatawan ke Labuan Bajo, ada banyak peluang ekonomi yang bisa diraih warga setempat. Salah satu contoh adalah makanan lokal. Sejauh ini, potensi itu belum tergarap.
”Inilah sesungguhnya tugas dan kewajiban pemda. Jika peluang ini terlewatkan, cepat atau lambat, warga setempat hanya menjadi penonton di tengah kemajuan pariwisata Labuan Bajo,” ujarnya.
Target tahun 2017 sebanyak 100.000 wisatawan. Setiap tahun perbandingan jumlah wisatawan lokal dengan mancanegara adalah 65:35.
Minim warga lokal
Dari total pendapatan asli daerah senilai Rp 75 miliar, sekitar Rp 37 miliar di antaranya berasal dari sektor pariwisata. Jumlah itu sesungguhnya masih tergolong kecil.
Jika pemda setempat serius menggarap, peluang PAD bakal lebih besar lagi. ”Kami khawatir, pemda merasa sudah bekerja banyak untuk mendukung pariwisata di daerah ini,” kata Robert.
Fredrik Sunaryo (51), wisatawan asal Jakarta, berpendapat, sulit menemukan sesuatu yang khas dari masyarakat lokal Labuan Bajo selama empat hari dirinya bersama istri dan tiga anaknya berada di daerah itu. Keterlibatan masyarakat asli dalam kepariwisataan jarang ditemukan.
”Hanya sopir taksi, pemilik kios, dan penjual ikan bakar di Ujung Kampung yang orang lokal. Namun, penjual suvenir khas lokal, seperti ukiran komodo, kaus oblong Labuan Bajo, dan lainnya dijual warga dari luar. Seharusnya orang lokal lebih diberdayakan,” ujarnya.
Saat ini, PT Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan Indonesia Ferry (Persero) membangun kawasan komersial terpadu di Labuan Bajo.
Peletakan batu pertama proyek ini dilakukan 20 April 2016 oleh Menteri BUMN Rini Soemarno. Proyek ini ditargetkan rampung Desember 2018.
Wakil Bupati Manggarai Barat Maria Geong mengatakan, sedang menyiapkan sumber daya manusia, infrastruktur, serta sarana dan prasarana pendukung pariwisata Labuan Bajo.
Ia mengapresiasi dukungan pemerintah pusat, LSM, tokoh agama, dan warga terkait pembangunan sektor pariwisata Labuan Bajo.
”Kami menyadari masih banyak hal yang harus dibenahi pada sektor pariwisata di Labuan Bajo. Pemda sedang menyiapkan program pembenahan dan sebagian sudah berjalan,” jelasnya.
(KORNELIS KEWA AMA)