Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Laos, Perpaduan Kesederhanaan dan Keindahan

Kompas.com - 24/11/2017, 07:12 WIB

KOMPAS.com - Apa istimewanya Laos? Selain penduduknya yang dikenal di seluruh dunia karena kejujuran dan kesederhanaannya, pengalaman tak terlupakan bagi saya dimulai saat pesawat mendekati Bandara Luang Prabang.

Pemandangan karpet hijau perbukitan nan spektakular, yang hanya perlu dilihat langsung, tanpa kata-kata.

Laos adalah negara yang dikenal dengan sebutan ‘landlock’ atau negara yang dikelililngi daratan, yang berbatasan dengan Myanmar, Thailand, Vietnam dan China.

(Baca juga : Delapan Jam Berwisata di Ibu Kota Laos)

Ini adalah salah satu negara di Asia yang kurang dieksplorasi, dengan dua pertiga daratannya ditutupi oleh pegunungan dan perbukitan.

Bandara Luang Prabang di Laos.NOVA DIEN Bandara Luang Prabang di Laos.
Perjalanan saya ke negara ‘sejuta gajah’ ini tak disengaja dan tanpa rencana. Saya mengiyakan ajakan seorang teman, Trinity untuk melengkapi daftar ke 82 negara yang dikunjunginya.

(Baca juga : Cara Menuju Laos dari Thailand lewat Jalur Darat)

Kami sepakat bertemu di sebuah kota kecil bernama Luang Prabang, di negara yang semakin ramai dikunjungi oleh wisatawan Korea Selatan. Mungkin, salah satu alasan adalah ‘Youth Over Flowers’, travel–reality show TV dari Korea Selatan.

Festival Lampu di Luang Prabang

Luang Prabang, adalah salah satu situs wisata yang kurang begitu dikenal. Kota semenanjung ini terletak di utara Laos, 388 kilometer dari ibu kota Vientiane.

Alms Giving Ceremony di depan Hotel Azerai, Luang Prabang, laos.NOVA DIEN Alms Giving Ceremony di depan Hotel Azerai, Luang Prabang, laos.
Namun, Luang Prabang adalah Situs Warisan Dunia UNESCO sejak tahun 1995, karena kekayaan budaya dan keragaman etniknya.

Luang Prabang sebagai kota yang memiliki jiwa spiritual dan arsitektur sakral ini diakui sebagai pusat budaya dan agama Buddhisme Theravada.

(Baca juga : Lima Pantangan Saat Berkunjung ke Ibu Kota Laos)

Berhubung ini adalah kali pertama ke Luang Prabang, kami memilih penginapan yang berdekatan dengan pusat kota.

Ternyata, Hotel Azerai pilihan kami ini selain lokasinya tepat berada di persimpangan antara Grand Palace, museum Nasional dan Night Market, bangunan asli hotel ini pun merupakan salah satu bangunan kuno yang pertama di Luang Prabang.

Festival Lampu di Kuil Luang Prabang, Laos.NOVA DIEN Festival Lampu di Kuil Luang Prabang, Laos.
Dibangun sejak 100 tahun yang lalu, direkonstruksi ulang pada tahun 1961, yang kemudian dibeli oleh seorang pengusaha asal Indonesia, Adrian Zecha, pemilik grup hotel Aman yang terkenal di seluruh dunia. Bangga juga jadi orang Indonesia.

Kejutan lainnya saat kami tiba di hotel, kami disambut oleh sang GM, Pak Gary, orang Australia yang pernah tinggal di Indonesia selama 20 tahun dan Pak Bagi, orang Indonesia asal Bali yang ramah dengan bahasa Indonesianya yang beraksen Bali. Kami langsung berasa ada di Bali!

Waktu kedatangan kami di Luang Prabang ternyata sangat tepat, karena hari itu adalah hari perayaan Boun Ok Phansa atau Festival Lampu, dan keesokannya adalah Boun Awk Pansa yaitu Festival Perahu. Keduanya adalah festival tahunan yang penting di negara yang berbahasa mirip dengan Thailand ini.

Festival Lampu di Kuil Luang Prabang, Laos.NOVA DIEN Festival Lampu di Kuil Luang Prabang, Laos.
Festival yang dimulai dengan upacara pemberian sedekah kepada para biksu di pagi hari atau yang dikenal dengan sebutan ‘Alms Giving Ceremony’.

Luang Prabang adalah tempat yang paling tepat untuk melihat salah satu tradisi Laos yang paling sakral ini. Saat matahari terbit, sekitar 200 biksu Buddha berangkat dari berbagai kuil untuk mengumpulkan makanan sehari-hari mereka.

Ritual sedekah yang berlangsung sejak abad ke-14 ini, masih berlangsung setiap hari, sampai sekarang. Sedekah yang paling umum adalah berupa nasi, buah segar dan makanan ringan tradisional.

Museum Nasional di Luang Prabang, Laos.NOVA DIEN Museum Nasional di Luang Prabang, Laos.
Subuh sekitar jam 5.30, kami bangun dan mendapatkan petugas hotel telah menyiapkan terpal untuk kami duduki, lengkap dengan bakul nasi masing-masing.

Kami diminta menunggu dengan tenang di pinggir jalan sampai kedatangan sekitar 20 orang biksu yang lewat di depan hotel kami.

Kelompok biksu dari usia delapan sampai 80 tahun dengan jubah safron berwarna orange adalah pemandangan umum setiap saat di kota Luang Prabang.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com