Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menjelajahi Desa Tenun di Manggarai Timur, Flores (2)

Kompas.com - 12/02/2018, 11:42 WIB
Markus Makur,
I Made Asdhiana

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Sinar matahari menembus sebuah lembah di Kecamatan Elar, Kabupaten Manggarai Timur, Flores, Nusa Tenggara Timur, Senin (29/1/2018).

Tuan rumah sudah bangun duluan untuk mempersiapkan hidangan sarapan pagi sambil mempersiapkan diri untuk pergi sekolah. Saya, Benediktus Adeni, Levi Betaya juga Paskalis Peli Purnama mempersiapkan diri. Selesai sarapan pagi, kami satu per satu mandi.

Hari itu kami sudah mengagendakan untuk mengunjungi perkampungan yang terjauh dari Kecamatan Elar. Semua persiapan untuk menjelajahi kawasan itu sudah beres. Sang sopir, Benediktus Adeni sudah menghidupkan mesin kendaraannya.

(Baca juga : Berjemurlah di Pantai Liang Mbala, Flores, Rasakan Sensasinya...)

Pagi itu kami berempat berada dalam kendaraan. Kami berangkat jam 09.15 Wita. Mulailah perjalanan kami dari rumah saudara Paskalis Peli Purnama menuju ke pusat Kecamatan Elar.

Saya mempersiapkan segala peralatan kerja, seperti kamera, note book dari Kompas.com, alat rekam serta sebuah handphone. Yang lain juga mempersiapkan jas hujan plastik karena saat itu musim hujan di seluruh Manggarai Timur. Tak lupa dengan buku catatan untuk mencatat segala peristiwa yang terjadi selama perjalanan tersebut.

(Baca juga : Selain Komodo, Ada 5 Destinasi Wisata di Sekitar Labuan Bajo)

Sungguh kami berhadapan dengan medan berat. Jalan yang pernah diaspal sejak Bupati Gaspar Parang Ehok (Bupati Manggarai dua periode) terkelupas dan rusak. Beruntung mobil yang kami tumpangi cocok dengan medan berat. Mobil Estrada yang tahan terhadap segala medan berat. Namun, sang sopir yang memiliki nyali besar dan berani disertai pengalaman dalam menghadapi medan berat itu membuat kami tenang dalam perjalanan.

Suasana pedesaan di Kecamatan Elar, Kabupaten Manggarai Timur, Flores, NTT, Senin (29/1/2018).KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR Suasana pedesaan di Kecamatan Elar, Kabupaten Manggarai Timur, Flores, NTT, Senin (29/1/2018).
Sekali-kali sang sopir itu mengingatkan kami untuk tetap waspada ketika melintasi jalan rusak. Dia mengatakan kalau kondisi tidak memungkinkan kita semua harus lincah untuk melompat keluar dari kendaraan. Saya akan memberitahu terlebih dahulu apabila keadaannya tidak memungkinkan.

Laju kendaraannya tidak terlalu cepat dan penuh kehati-hatian karena keselamatan manusia dalam kendaran diutamakan. Masing-masing pribadi berdoa dalam hati agar perjalanannya selamat sampai tujuan juga saat pulang.

Dari pusat ibu kota Kecamatan Elar, kami melintasi jalan berkelok-kelok, juga jalan menurun dan mendaki. Sebelum memasuki wilayah Kelurahan Lempang Paji, ada longsoran. Jalannya sempit pas untuk kendaraan karena bagian sisi kanan jalan itu dipenuhi tanah longsor serta bagian kiri bawahnya terdapat batu besar. Longsoran dan batu itu belum dibersihkan. Kami terus laju sambil berbincang-bincang tentang kondisi jalan yang penuh dengan tantangan untuk menghibur diri.

Penenun flores di Wilayah Elar, Kabupaten Manggarai Timur, Flores, Nusa Tenggara Timur, Minggu (28/1/2018).KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR Penenun flores di Wilayah Elar, Kabupaten Manggarai Timur, Flores, Nusa Tenggara Timur, Minggu (28/1/2018).
Cerita-cerita humor diungkapkan demi menghibur diri agar tak jenuh. Sesekali kami mengganggu sang sopir dengan cerita humor. Kami juga memutar musik di handphone agar perjalanan itu tidak jenuh karena berhadapan dengan medan berat tersebut.

Menolong Seorang Ibu

Di pinggir jalan berdiri seorang ibu yang mengendong anaknya. Kami menaruh iba terhadap ibu itu sehingga kami sepakat untuk menolongnya. Ibu yang mengendong anaknya itu sedang pulang dari wilayah Ranamese menuju ke kampung Paji, Kelurahan Lempang Paji. Sebelumnya, mereka berangkat dengan sepeda motor bersama suaminya dari kawasan Ranamese. Tiba-tiba di dalam perjalanan motor suaminya itu rusak.

Kami persilahkan ibu itu duduk di bagian depan untuk menghormati kaum perempuan apalagi saat itu sedang hujan rintik-rintik.

Kami sempat istirahat di Kampung Tetes, Desa Golomunde untuk berjumpa dengan seorang saudara. Kami disuguhkan minuman kacang kedelai.

Selanjutnya kami mengajak saudara itu untuk sama-sama menuju kampung Marabola, Desa Legurlai. Kampung Marabola merupakan tujuan perjalanan kami di hari pertama menjelajahi kawasan Kecamatan Elar. Sebelum tiba di kampung itu, kami menghantar ibu  di Kampung Paji. Rumah keluarga itu pas di pinggir jalan.

Masuk Kampung Bui, Desa Kaju Wangi

Memasuki wilayah Kampung Bui, Desa Kaju Wangi, mata kami terkejut melihat seorang ibu sedang menenun kain tenun di bawah kolong rumah panggung. Sebagai seorang jurnalis saya meminta sang sopir menghentikan kendaraan agar peristiwa itu tak terlewatkan.

Suasana pedesaan di Kecamatan Elar, Kabupaten Manggarai Timur, Flores, NTT, Senin (29/1/2018).KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR Suasana pedesaan di Kecamatan Elar, Kabupaten Manggarai Timur, Flores, NTT, Senin (29/1/2018).
Saya turun dari kendaraan sambil memegang kamera. Sebelum memotret, terlebih dahulu saya meminta izin untuk bisa memotretnya. Tanggapan ibu itu mengiyakan saya untuk memotret. Saat itu juga langsung memotret cara menenun kain tenun.

Nama ibu adalah Odalia Biba atau Halima (50). Ia tekun menyelesaikan tenunannya. Ia menceritakan bahwa ia menenun di waktu senggang karena segala urusan domestik dalam rumah sudah selesaikan dikerjakan. Saat itu juga ia dan suaminya tidak pergi ke kebun dan ladang.

Odalia Biba menuturkan, dirinya menenun kain tenun motif Ngada dan Nagekeo. Alasannya sangat sederhana, hasil tenunannya mudah di jual di pasar di Kabupaten Ngada dan Kabupaten Nagekeo juga ada pelanggan tetap yang membeli langsung di kampungnya.

Bahkan pelanggannya dari Kabupaten Ngada dan Nagekeo sudah memesan kain tenun. Harga tenunan berkisar Rp 200.000 sampai Rp 1.000.000.

Perempuan Flores sedang menenun, Senin (29/1/2018).KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR Perempuan Flores sedang menenun, Senin (29/1/2018).
Biba menjelaskan, hasil jual tenunnya untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Ini juga sebagai penopang kehidupan keluarga selain hasil bumi lainnya.

Tenun Motif Nagekeo dan Ngada Bukan Motif Manggarai

Kaum perempuan di wilayah kedaluan Rembong, Kecamatan Elar menenun kain tenun bermotif Nagekeo dan Ngada bukan motif Manggarai. Alasannya sederhana, pemasaran hasil tenunan mudah dipasarkan di wilayah Kabupaten Nagekeo dan Ngada. Sesekali mereka menenun kain bermotif Rembong.

Selain itu menenun kain tenun bermotif Nagekoe dan Ngada tidak terlalu rumit seperti kain tenun bermotif Manggarai Raya. Menenun kain tenun motif Nagekeo dan Ngada adalah mudah dikerjakan.

Selesai mengumpul bahan liputan, kami meneruskan perjalanan. Kami singgah di rumah Tua Teno Kampung Bui, Desa Kaju Wangi, Geradus Kandang bersama istri dan anaknya.

Kami minta izin untuk memasuki perkampungan Bui dengan ritual kepok berupa tuak lokal. Kami diterima dengan baik oleh tua teno tersebut.

Tua rumah menyuguhkan kami minuman kopi khas Kaju Wangi. Ini merupakan sebuah kebiasaan orang Manggarai Raya dalam menyambut tamu dengan suguhan kopi. Kopi pahit atau kopi tanpa gula. Warga setempat biasanya minum kopi tanpa gula.

Saat minum kopi berlangsung mata saya tertuju kepada sebuah peralatan tenun yang ada di ruang tamu. Saat itu juga bertanya di tua teno dan warga di dalam rumah itu. Semua menjawab bahwa itu adalah peralatan tenun untuk mengulung benang. Saat itu juga bertanya apakah ada seorang ibu yang sedang menenun. Semua menjawab iya dan ada di sudut dapur.

Suasana pedesaan di Kecamatan Elar, Kabupaten Manggarai Timur, Flores, NTT, Senin (29/1/2018).KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR Suasana pedesaan di Kecamatan Elar, Kabupaten Manggarai Timur, Flores, NTT, Senin (29/1/2018).
Seketika itu juga saya menuju ke dapur untuk melihat dan berjumpa dengan seorang ibu yang sedang menenun. Nama ibu adalah Emilia Tamu (38).

Emilia Tamu (38) kepada Kompas.com, Senin (29/1/2018) menuturkan, dirinya belajar dedang atau tenun dari mamanya sejak usia dewasa. Berawal dari sayak melihat prosesnya. "Selanjutnya mama saya melatih saya untuk dedang. Saat awal memang sangat berat untuk dedang karena prosesnya rumit. Tetapi, karena dilatih dan dipraktikkan terus menerus akhirnya menenun menjadi mudah," katanya.

“Saya berterima kasih kepada mama saya yang melatih saya untuk dedang kain tenun Rembong. Mama saya adalah guru pertama yang melatih saya secara langsung untuk dedang. Mama saya melatih saya mulai dari meracik bahan alami dari alam. Menuntun dan mendamping saya selama proses awal dedang. Bahkan mama saya duduk disamping saya untuk memberikan petunjuk dan menuntun saya agar bisa dedang,” sambung Emilia.

Dia menjelaskan, saat ini dirinya bisa menenun kain tenun bermotif Nagekeo dan Ngada juga Rembong. Selama dua minggu bisa menghasilkan satu tenun. Untuk sebulan bisa menghasilkan dua atau tiga kain tenun tergantung ukuran yang dipesan. Kain tenun motif Rembong dijual dengan harga Rp 500.000 tergantung ukurannya, sedangkan kain tenun motif Nagekeo dan Ngada berkisar Rp 200.000 sampai Rp 1.000.000.

Suasana pedesaan di Kecamatan Elar, Kabupaten Manggarai Timur, Flores, NTT, Senin (29/1/2018).KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR Suasana pedesaan di Kecamatan Elar, Kabupaten Manggarai Timur, Flores, NTT, Senin (29/1/2018).
"Kaum perempuan di kampung ini dan di seluruh Desa Kaju Wangi menenun kain tenun motif Nagekeo dan Ngada saat ini karena pemasarannya di pasar Riung, Kabupaten Ngada. Dan juga pembeli dari Kabupaten Nagekeo dan Ngada langsung memesannya kepada penenun di wilayah ini. Saat ini kaum perempuan jarang menenun kain tenun motif Manggarai karena tidak ada pasarannya. Kalau kain tenun selendang bisa dijual seharga Rp 200.000 per lembar tergantung ukurannya,” katanya.

Emilia menjelaskan, menenun kain tenun untuk mengisi waktu senggang karena pekerjaan pokok adalah petani di ladang dan kebun. Jika musim kerja kebun, petik kopi dan pungut kemiri maka dirinya tidak menenun. Langganan pembeli tenun berasal dari Kabupaten Nagekeo dan Ngada. Ukuran tenunan yang biasa dipesan adalah lebarnya satu meter dan panjangnya empat meter.

“Saya mulai menenun sejak tamat SD atau 15 tahun yang lalu. Kalau dihitung dengan bahan-bahan untuk menenun, saya hanya dapat untung kecil. Yang terpenting saya tetap merawat warisan leluhur serta penghargaan terhadap mama saya yang mendidik saya menenun,” katanya.

Emilia menjelaskan, hasil jual tenun untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga, membiayai pendidikan anak dan membiayai kesehatan. Sebulan bisa menghasilkan satu sampai tiga kain tenun tergantung pemesanan dari pelanggan.

“Selain untuk dijual, kain tenun juga dipakai oleh kaum perempuan dan laki-laki saat acara-acara adat, acara perkawinan juga pesta adat. Jadi kain tenun banyak kegunaannya,” jelasnya.

Perempuan Flores di Kabupaten Manggarai Timur, NTT sedang menenun, Senin (29/1/2018).KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR Perempuan Flores di Kabupaten Manggarai Timur, NTT sedang menenun, Senin (29/1/2018).
Tua Teno Kampung Bui, Desa Kaju Wangi kepada Kompas.com menjelaskan, kaum perempuan di kampung ini dan di desa Kaju Wangi memiliki kemampuan menenun kain tenun motif Rembong. Saat ini mereka menenun kain tenun motif Nagekeo dan Ngada karena mudah dijual di pasar di Kabupaten Ngada dan Nagekeo.

“Istri saya juga bisa menenun. Kini istri saya sudah usia lanjut sehingga aktivitas menenun diwariskan kepada anak-anak serta anak mantu di rumah. Kaum perempuan di desa ini juga memiliki penghasilan tambahan selain penghasilan dari suami mereka. Hasil tenunan dijual di pasar di Kabupaten Ngada dan Nagekeo pada hari pasar bahkan pembeli dari kabupaten tetangga langsung memesannya,” jelasnya.

Penenun di FloresKOMPAS.COM/MARKUS MAKUR Penenun di Flores
Sore itu setelah makan siang, kami melanjutkan perjalanan menuju ke Kampung Marabola, Desa Legurlai. Kami tiba di kampung itu sekitar pukul 15.30 Wita. Setiba di rumah Valentinus D Nangi, kami langsung melaksanakan ritual kepok untuk meminta izin memasuki perkampungan tersebut.

Tua rumah menyuguhkan minuman kopi. Ini kebiasaan yang terus menerus diwariskan leluhur di kampung itu kepada tamu yang berkunjung. Kampung Marabola merupakan perkampungan transmigrasi lokal ketika masih satu dengan Kabupaten Manggarai sebelum dimekarkan menjadi Kabupaten Manggarai Timur. Seorang imam diosesan Keuskupan Ruteng yang membawa warga dari Manggarai untuk bertransmigrasi. Nama imam itu adalah Romo Simon Nama, Pr.

Selanjutnya warga setempat menginformasi aktivitas kaum perempuan di kampung itu menenun kain tenun. Kali ini kain tenunannya bermotif tenun Manggarai.

Berta Nues (39) saat dijumpai Kompas.com di rumahnya sedang menenun kain tenun motif songke. Motif songke merupakan tenun khas Manggarai.

“Saya menghasilkan satu kain tenun motif songke selama tiga minggu. Itupun diselesaikan apabila tidak ada pekerjaan lainnya. Saya seorang petani yang tetap mengurus lahan persawahan dan perkebunan. Saya menenun di waktu senggang. Harga tenunan songke dijual di Kota Ruteng berkisar Rp 450.000; sampai Rp 700.000. Uang hasil penjualan kain tenun dipergunakan untuk kebutuhan hidup keluarga serta membiayai pendidikan anak-anak sampai di perguruan tinggi,” tuturnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com