“Saya tidak ikut pindah (transmigrasi) karena masih punya tanah yang tidak terdampak. Dulu sawahnya di sana (luar waduk), tetapi rumahnya di sini (yang kini menjadi waduk). Yang punya tanah ya enggak ikut transmigrasi, tetapi tetap dapat ganti rugi,” ujar Darti.
Ia melanjutkan, warga yang tidak mempunyai tanah lagi akan ikut transmigrasi bedhol desa ke Sumatera.
Kondisi sekitar saat belum menjadi Waduk Gajah Mungkur juga masih diingatnya dengan baik. Salah satunya adalah jalan utama Wonogiri-Pracimantoro masa lalu yang kini ada di dasar waduk.
“Dulu itu jalan besar, mas. Kalau dari Wonogiri mau ke Pracimantoro, ya lewatnya jalan itu. Dulu sungai di bawah jembatan itu besar dan dalam. Namanya Sungai Tempuran karena merupakan gabungan dua sungai,” kata Darti.
Baca juga: Pesona “Sunrise” di Watu Cenik Wonogiri yang Bisa Membuatmu Terpana
Jalan itu dulunya dilewati oleh berbagai jenis kendaraan, mulai truk, bus hingga mobil. Bahkan ia masih ingat lokasi biasa bus menurunkan penumpang.
Darti juga masih hafal lokasi rumahnya dulu. Kini rumahnya dulu sudah tidak tersisa lagi. Saat waduk surut, lahan bekas rumahnya turut menjadi areal persawahan.
“Itu yang ada motor itu, mas. Terus agak ke pojok sedikit. Itu dulu rumah saya,” ujar Darti sembari menunjuk lokasi rumahnya dulu.
Selain rumahnya, ia juga masih hafal lokasi tetangganya. Salah satunya adalah rumah Kepala Dusun yang dulunya ada di dekat jembatan.
Jalan utama ternyata bukan hanya Wonogiri-Pracimantoro saja. Terdapat jalan yang mengarah ke timur di selatan jembatan. Jalan itu dulunya adalah akses dari Kecamatan Wuryantoro menuju Baturetno atau sebaliknya.
“Dulu ini juga jalan utama, mas kalau mau ke Baturetno. Jalan ini ramai, banyak kendaraan yang melintas. Jalan ini biasanya dilewati mereka yang akan berjualan di Pasar Baturetno atau Wuryantoro,” imbuh Darti.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.