Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Wisata ke TN Komodo Diharapkan Tak Sekadar Mementingkan Kuantitas

Kompas.com - 22/07/2022, 11:14 WIB
Wasti Samaria Simangunsong ,
Nabilla Tashandra

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Penerapan biaya kontribusi Rp 3,75 juta ke Taman Nasional Komodo, Nusa Tenggara Timur (NTT) yang rencananya diterapkan Agustus 2022 menuai pro dan kontra.

Di tengah situasi tersebut, upaya konservasi dan penerapan pariwisata berkelanjutan dinilai menjadi hal penting yang perlu digarisbawahi jika ingin mempertahankan kualitas destinasi tersebut.

Baca juga: Biaya Konservasi TN Komodo RP 3,75 Juta, Untuk Apa Saja?

Emil Salim, Menteri Lingkungan Hidup pertama RI yang menjabat pada 1978-1993 menjadi saksi penetapan Taman Nasional Komodo sebagai salah satu Taman Nasional pertama di Indonesia.

Daya tarik TN Komodo adalah satwa komodo itu sendiri. Komodo sebagai makhluk hidup menurutnya harus dipertahankan dan destinasi itu berbeda dari destinasi lain, misalnya Bali yang lebih menonjolkan budaya atau tempat.

"Wisata komodo adalah wisata dengan living creature (makhluk hidup) yang unik, yang merupakan binatang yang historis," ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Kamis (21/07/2022). Ini disampaikannya saat melakukan audiensi di TN Komodo, 7 Juli 2022.

"Demikian halnya, maka komodo sebagai makhluk hidup harus kita pertahankan," sambungnya.

Baca juga: Pembatasan Pengunjung TN Komodo Hanya di 2 Pulau

Ia menambahkan, strategi pariwisata di daerah habitat komodo idealnya tak mengedepankan kuantitas pengunjung, melainkan pada kualitas tamu.

Sebab, jika ekosistem komodo terganggu, kehidupan satwa purba itu juga ikut terganggu. Manusia tidak bisa sembarangan mengakses habitat komodo, termasuk membuang sampah sembarangan dan penggunaan lahan.

"Tidak ada yang peduli pada dampak dari penggunaan lahan, perubahan iklim, suhu, serta alam. Tidak ada yang peduli. Yang penting wisatawan dapat hotel, dapat berwisata, dan dapat naik kapal. Apakah ada yang peduli dengan komodo? Tidak ada. Yang penting uang, uang, dan uang," tuturnya.

Ia menambahkan, untuk itu, harga masuk perlu dinaikkan sebagai kompensasi untuk mengembalikan apa yang hilang dari ekosistem komodo dan makhluk hidup lain di kawasan, demi menciptakan pariwisata yang bertanggung jawab dan mengedepankan praktik konservasi.

Baca juga: Wacana Biaya Kontribusi Konservasi TN Komodo Rp 3,75 Juta, Ketahui 10 Hal Ini

Selain itu, kajian juga menunjukkan perlunya pembatasan pengunjung. Dari hasil kajian, diperoleh bahwa kapasitas ideal TN Komodo dalam menampung wisatawan adalah sebanyak 219.000 dan maksimal sebanyak 292.000 kunjungan per tahun.

Jumlah itu jika dilihat berdasarkan sejumlah faktor, termasuk panjang jalur terpendek trekking, lama berjalan rata-rata wisatawan, lama berkunjung wisatawan hingga tingkat kenyamanan berwisata, serta mempertimbangkan nilai jasa ekosistem di dalamnya.

Nilai jasa ekosistem yang dinilai hilang mulai dari jasa ekosistem sumberdaya genetik, jasa ekosistem biodiversitas, jasa ekosistem penyediaan air bersih, pengaturan iklim, produksi oksigen, jasa ekosistem ruang hidup, jasa ekosistem ecotourism, hingga jasa ekosistem estet.

 
 
 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

A post shared by Kompas Travel (@kompas.travel)

Berdasarkan data pertumbuhan wisatawan dan ekonomi tim Kajian Daya Dukung Daya Tampung berbasis Jasa Ekosistem, pertumbuhan wisatawan di TN Komodo tercatat mengalami kenaikan 1,33 kali pada rentang waktu tahun 2013-2016, menjadi 2,05 kali selama rentang waktu 2016 hingga 2019.

Hal ini disebut malah berbanding terbalik dengan pertumbuhan ekonomi Manggarai Barat yang mengalami penurunan dari 1,7 kali selama 2013-2016, menjadi 1,5 kali selama 2016-2019.

Mengacu pada data tersebut, tim kajian menilai perlu ada program konservasi dan penerapan pariwisata berkelanjutan guna menunjang kelestarian ekosistem TN Komodo.

Baca juga: Sandiaga Optimistis Tarif Masuk Rp 3,75 Juta Tak Bikin TN Komodo Sepi

Apalagi sejak September 2021, status komodo sebagai satwa liar daftar merah International Union for Conservation (IUCN) atau berstatus terancam punah.

"Maka jangan jumlah pengunjung menjadi kriteria, yang menjadi obyek wisata adalah makhluk hidup, bukan barang mati. Apabila ekosistemnya terganggu, bisa mengganggu ekuilibrium kehidupan komodo, yang mana kita tidak punya ahlinya," kata Emil.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com