Sesuai dengan tujuan utama pendirian yayasan dan masjid, yaitu untuk dakwah kepada masyarakat keturunan Tionghoa dan menjembatani perbedaan, masjid ini pun erat dengan nuansa China.
Dilihat dari warna arsitektur dan interior dalam bangunan yaitu merah, kuning, dan hijau. Selain itu, ada aksesoris lampion yang menggantung dan tidak ada kubah seperti masjid pada umumnya.
Yusman mengatakan, warna masjid agak mirip dengan wihara. Tujuannya agar terdapat kedekatan sehingga para mualaf China tidak merasa canggung.
Baca juga:
"Masjid di Indonesia kan gayanya umumnya Timur Tengah, jadi biar beda, bagaimana kami membungkusnya biar beda. Warnanya mungkin agak mencolok ya, khas merah dan kuning," ujarnya.
Ada juga beberapa kaligrafi dan potongan ayat bertuliskan huruf Arab dan tulisan Mandarin berjajar rapi di dinding masjid.
Tak hanya bangunan, pemilihan nama Lautze juga memiliki alasan kedekatan terhadap warga China mualaf, selain karena nama jalan.
"Biasanya masjid pakai bahasa Arab, tapi kita pakai nama mandarin. Sehingga kami juga tampilnya dengan suasana di China sana, agar mereka enggak merasa canggung dan familiar," terang Yusman.
Bahkan, ia bercerita, beberapa tahun lalu Masjid Lautze sempat mengadakan acara untuk bernostalgia Hari Raya Imlek bagi para mualaf China.
Acara nostalgia Imlek ini, katanya, memiliki nuansa Islam. Hal-hal berupa ritual keagamaan memang sudah tidak dilakukan, namun tradisi budaya tertentu tetap diadakan. Misalnya, makan mi dan lontong.
Baca juga: Begini Cara Muslim Tionghoa di Masjid Lautze Rayakan Imlek...
"Orang Tionghoa yang tadinya merayakan Imlek terus begitu masuk Islam kan ada hal-hal yang enggak boleh tapi ada juga yang boleh dilakukan."
"Yang ritual keagamaan udah enggak boleh, tapi yang sifatnya tradisi kan masih boleh ya enggak masalah. Misalnya makan mie, lontong," kata dia.