Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Perlawanan dari Tanah Blambangan

Kompas.com - 17/08/2016, 14:39 WIB

SEPANJANG sejarah, tanah Blambangan yang kini disebut Banyuwangi tak pernah dianggap wangi. Pemberontakan, keterasingan, dan bahaya melekat di belakang namanya. Namun, kini stigma tersebut dilawan.

Palangkan adalah sebuah desa yang berada satu league ke pedalaman, pada sisi kanan mulut Teluk Belambangan. Ia dibelah oleh sungai kecil yang alur masuknya berseberangan dengannya. Pada 13 Februari 1805, Jenderal Tombe dan pasukannya dikunjungi oleh Joudo-Negoro (Yudhonegoro), perdana menteri wilayah itu”.

Paragraf itu membuka tulisan tentang Blambangan di zaman kependudukan Inggris. John Joseph Stockdale, penulis dari Inggris, membukukan tulisan itu dalam sebuah karya berjudul Eksotisme Jawa: Ragam Kehidupan dan Kebudayaan Masyarakat Jawa. Di dua bab terakhir, Stockdale menulis bahwa pendaratan rombongan Jenderal Tombe ke Blambangan adalah perjalanan yang sulit dan berbahaya.

Di Banyuwangi kala itu ditemukan banyak penyakit lingkungan yang timbul akibat debu gunung berapi. Jalur menuju kota itu harus ditempuh dengan menyeberangi sungai beracun dan padang rumput yang penuh binatang buas. Stockdale bahkan menyebut kawasan itu sebagai kawasan buangan tempat para pelaku kriminal.

Namun, di sisi lain, cerita perjalanan itu menuliskan keramahan dan kekayaan budaya lokal warga setempat. Rombongan tersebut disambut dengan komedi melayu, gamelan, dan biola. Makanan yang disajikan melimpah, mulai dari kopi, teh, sirih, makanan eropa, hingga makanan lokal.

Saat berkunjung ke desa kecil, warga lokal yang menyebut diri sebagai orang gunung menyajikan berbagai makanan lezat, seperti jagung, ayam panggang, dan sejenis gin (minuman beralkohol).

Tulisan Stockdale tentang Blambangan kala itu menggambarkan betapa warga lokal Banyuwangi sangat terbuka kepada pendatang. Stigma negeri inferior dengan tokoh-tokoh antagonis yang populer dalam epik Damarwulan yang telanjur populer tak tergambar.

Keterbukaan dan keramahan itu hingga kini masih ditemukan. Juli lalu, seusai perayaan Barong Ider Bumi, warga Desa Kemiren, salah satu kampung yang masih dihuni warga Using yang asli Banyuwangi, mengundang semua pengunjung untuk duduk dan menikmati makanan bersama dengan mereka. Meski hanya beralas tikar, ada kehangatan dan keakraban di dalamnya.

Kehangatan juga ditemukan di pelosok-pelosok desa. Saat berkunjung ke Desa Kabat, Kecamatan Kabat, misalnya, warga akan menyambut hangat kedatangan tamunya meski belum pernah kenal sebelumnya.

Pengamat adat Using, Ayu Sutarto, saat masih hidup (Ayu Sutarto meninggal pada Maret lalu), pernah mengatakan, warga Using mempunyai kultur budaya yang terbuka, cair, dan dinamis. Mereka bisa menerima siapa saja dan apa saja. Mereka bahkan mampu meleburkan budaya mereka dengan budaya pendatang sehingga melahirkan budaya baru khas mereka.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com