KOMPAS.com – Tradisi Mattojang atau permainan ayunan raksasa, tingginya bisa mencapai 15 meter. Permainan ini tak hanya menjadi ajang ritual pemujaan atau persembahan kepada manusia pertama dalam kepercayaan mitologis Bugis, tapi juga bermakna hiburan dan ajang uji nyali dan keberanian ala Suku Bugis.
Tak heran jika kampung komunitas Bugis yang terpencar di berbagai kabupaten di Pulau Sulawesi hingga ke pulau lain bahkan mancanegara, biasanya lebih mudah dikenal daerah asalnya karena nyali dan keberanian penduduknya bermain ayunan.
(BACA: Berburu Makanan Manis, dari Mata Kebo sampai Lapek Bugis!)
Acara puncak Mattojang yang digelar Komunitas Suku Bugis di Madimeng, Kelurahan Maminasae, Kecamatan Palateang Pinrang, Sulawesi Selatan, Senin (25/9/2017), berlangsung meriah.
Pesta petani pasca panen raya ini tidak hanya dihadiri sederet pejabat kabupaten seperti bupati dan kepala dinas, namun juga dihadiri ribuan warga dari berbagai desa bahkan tetangga kabupaten berkumpul menggelar permainan Mattojang sambil uji nyali dan keberanian.
(BACA: Sensasi Segar Menyantap Nasu Palakko di Pinrang)
Tak heran jika pesta panen yang biasanya dimeriahkan dengan permainan Mattojang dan Padendang atau seni menumbuk lesung dengan irama tertentu diikuti dengan tarian dan pertunjukan seni bela diri Pamanca, juga menjadi ajang wisata budaya yang selalu ramai dikunjungi warga serta turis mancanegara.
Sejarah Mattojang
Dalam tatanan linguistik Bugis, Mattojang berasal dari kata "tojang" yang berarti ayunan. Secara kutural dalam masyarakat Bugis istilah Mattojang diartikan sebagai permainan berayun atau berayun-ayun.
(BACA: Manatika, Taekwondo Tradisional Asal Timor Tengah Utara)
Permainan Mattojang tidak terlepas dari sebuah mitos yang diyakini oleh masyarakat Bugis, bahwa mattojang merupakan proses turunnya manusia pertama yaitu Batara Guru dari Botting Langi’ (Turunnya Batara’ Guru dari Negeri Khayangan ke Bumi).
Batara’ Guru dalam mitos kebudayaan Bugis adalah nenek dari Sawerigading. Sawerigading sendiri adalah ayah dari La Galigo, tokoh mitologi Bugis yang melahirkan mahakarya yang sangat monumental dan termahsyur di dunia yakni kitab La Galigo.
Menurut petani setempat, Ahmad, pesta petani Mattojang dan Mappadendang dulunya digelar pada pasca panen sebagai bentuk perghormatan kepada leluhur Bugis, namun belakangan digelar sekali setahun.