SEMARANG, KOMPAS.com - "Selama toko buku ada, selama itu pustaka bisa dibentuk kembali. Kalau perlu dan memang perlu, pakaian dan makanan dikurangi."
Begitu bunyi kutipan seorang tokoh perjuangan kemerdekaan Indonesia Tan Malaka dalam sebuah spanduk putih di depan Gedung Soesman Kantoor, kawasan Kota Lama Semarang.
Kutipan tersebut seolah menjadi pengingat bagi generasi muda akan pentingnya menciptakan budaya literasi melalui buku yang kini sudah semakin tergerus oleh perkembangan teknologi di era disrups
Baca juga: Big Bad Wolf Bandung Pamerkan 2 Juta Buku Lebih
Ketika hendak memasuki bangunan tua yang dahulu pernah menjadi pusat aktivitas perusahaan ekspor-impor kuda itu nampak berbagai jenis buku dari ratusan penerbit dipamerkan.
Pameran buku tersebut bertajuk "patjarmerah - Festival Kecil Literasi dan Pasar Buku Keliling Nusantara”.
Nampak juga ratusan pecinta buku begitu antusias memadati tumpukan-tumpukan buku yang menarik perhatian mereka.
Baca juga: Dari Belitung sampai Edinburgh, 9 Destinasi Wisata untuk Pecinta Buku
Salah satu inisiator patjarmerah Irwan Bajang menuturkan, sebagai kota penting literasi dan pembelajar, Semarang memiliki posisi strategis untuk menggulirkan gerakan literasi.
"Dengan mengambil tema 'Sang Pembelajar - Kami yang Menolak Lupa'', kota ini memang semestinya menjadi tempat terbaik untuk menghidupkan kembali semangat itu. Karena Semarang tak bisa dipisahkan dari sejarah kemunculan para pembelajar," jelas Bajang di Semarang, Rabu (5/12/2019).
Selama sepuluh hari, sejak 29 November hingga 8 Desember mendatang, festival ini akan digelar dan dipusatkan di gedung Soesman Kantoor dan Monod Diephois & Co, Semarang.
Baca juga: Gramedia Books Festival, Bazar Buku dengan Diskon 40-90 Persen
Menurut Bajang, patjarmerah sebagai sebuah upaya pemerataan akses literasi bagi semua kalangan ingin mengajak semua orang untuk kembali mengingat urgensi belajar sebagai awal mula segala tindakan.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.