POLEMIK seputar rencana kenaikan tarif masuk Taman Nasional Komodo (TNK) di Manggarai Barat (Mabar), Nusa Tenggara Timur (NTT) belum berakhir walaupun pemerintah sudah mengumumkan penundaan penerapan kebijakan tersebut hingga awal tahun depan. Mengapa demikian?
Harus diakui bahwa sebenarnya belum ada titik temu antara kepentingan pemerintah dan kepentingan ekosistem pariwisata lokal. Penyelesaian yang terjadi beberapa waktu lalu merupakan kesepakatan untuk meredakan suhu yang memanas di Kota Labuan Bajo, Manggarai Barat, NTT.
Baca juga: Mempersoalkan Skema Bisnis PT Flobamor di Taman Nasional Komodo
Maka, setelah situasi kembali kondusif, para pemangku kepentingan seharusnya mulai membangun komunikasi untuk mencari titik temu. Bagaimanapun, pengembangan pariwisata di TNK adalah tujuan bersama. Inilah simpul yang harusnya menjadi titik tolak dialog demi mendapatkan solusi.
Terdapat benang kusut yang perlu diurai untuk membentuk simpul kepentingan bersama. Benang kusut tersebut berupa adanya dikotomi yang terbentuk melalui framing yang dilakukan pihak pihak tertentu, seolah-olah terdapat polarisasi kepentingan.
Terjadi penggambaran melalui media soal benturan antara kepentingan konservasi dan kepentingan komersialisasi. Wacana yang digambarkan seolah-olah pemerintah mewakili kepentingan konservasi sedangkan ekosistem pariwisata lokal mewakili kepentingan komersialisasi.
Apa benar ada dikotomi kepentingan seperti itu? Sebenarnya semua pemangku kepentingan sadar akan kepentingan konservasi di TNK. Tanpa konservasi mustahil keberlanjutan (sustainabilitas) pariwisata di kawasan yang masuk "The New Seven Wonders" oleh UNESCO akan terjaga.
Semua pihak menyadari harga yang harus dibayar untuk kerusakan habitat Komodo dan lingkungan kawasan penyangga akan sangat mahal dan berdampak luas. Eksploitasi atas kawasan dengan keunikan dan kelangkaan alami demi keuntungan ekonomi industri wisata semata akan berujung buntu bagi semua pihak.
Titik temu antara kepentingan konservasi dan komersialisasi wisata berbasis alam adalah ekowisata (ecotourism). Ide yang berkembang sejak tahun 1960-an ini mengkristal sebagai konsep pengembangan wisata alam yang berkelanjutan pada 1980-an.
Ralf Buckley dalam buku Ecotourism, Principles & Practices (2009: 9) mengulas, salah satu komponen utama ekowisata adalah dampak minimal pada ekosistem hayati. Itu berarti pembangunan infrastruktur dan keterlibatan perusahaan-perusahaan yang berorientasi profit di kawasan ekowisata perlu dibatasi.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.