Selanjutnya, bantal, tikar, dan guling terbuat dari daun kelapa tua yang berwarna hijau. Dalam bahasa manusia, bantal ini dalam kehidupan bertani adalah suyak yang disandang oleh para petani ketika berkebun.
Baca juga: Puri Tri Agung di Bangka yang Pas Dikunjungi Saat Imlek
Sementara, dalam bahasa roh halus dinamai menjadi bantal mereka untuk tidur. Dalam hal ini, bantal tersebut diisi dengan 7 butir beras sebagai sesajen untuk roh halus.
Guling dalam bahasa manusia adalah tempat atau wadah untuk menaruh bibit, sementara dalam bahasa roh halus dinamai guling/kenceng.
Tikar dalam bahasa manusia adalah tempat untuk mejemur padi ketika panen, sementara tikar dalam bahasa roh halus sebagai tempat tidur. Ketiga perlengkapan ini dibuat masing-masing sebanyak 7.
Persiapan dilaksanakan di rumah Bapak Zamhur yang merupakan pewaris turun temurun ritual ini. Sementara dukun daratnya adalah Bapak Bujel. Persiapan dilakukan dari pagi hingga sore, yang dimana proses persiapan ini dilakukan secara gotong royong antar panitianya.
Baca juga: Bangka Belitung Fokus Wujudkan Pariwisata Bebas Nyamuk
Panitia perempuan mempersiapkan sesajen untuk roh halus. Sementara, panitia laki-laki menyiapkan perahu ritual untuk untuk menaruh sesajen.
Beberapa perlengkapan berjumlah 7, dikarenakan roh halus yang biasanya hadir saat ritual berjumlah 7 yang diyakini sebagai peri padi sekaligus melambangkan 7 penyakit zaman dahulu.
Saat ritual dilaksanakan, pembimbing spritualnya harus berwudhu terlebih dahulu. Kemudian menyiapkan materi ritual seperti lilin, membakar kemenyan, menyajikan bahan ritual.
Ia lalu meruwat berbagai permintaan masyarakat atau sebagai perantara permohonan masyarakat yang ingin disampaikan melalui dukun darat.
Kemudian dilakukan arak-arakan dari balai desa dengan menggotong perahu sesaji/ritual oleh masyarakat diiringi alunan musik yang terdiri dari dua gendang menuju lokasi ritual di hutan larangan yang berjarak sekitar 500 meter dari Balai desa.
Tiba di lokasi, perahu ritual diletakkan pada sanggahan kayu yang telah disiapkan kemudian dilanjutkan dengan doa dan rapalan pembicaraan dukun darat dengan roh halus untuk tidak mengganggu masyarakat sekitar dan hidup secara harmonis dengan manusia.
Setelah selesai ritual ini, rombongan kembali ke balai desa untuk acara selanjutnya yakni doa bersama dan jampi kesehatan bagi masyarakat sekitar agar terhindar dari wabah penyakit. Acara ditutup dengan acara hiburan tradisi setempat yakni musik dan tari campak.
Pada waktu dahulu, ketika di era kepemimpinan kampong oleh para Batin, diberlakukan hukum denda bagi masyarakat di waktu antara perayaan ceriak ngelam hingga ceriak nerang.
Pada antara waktu tersebut, warga dilarang untuk melakukan perayaan seperti pernikahan dan lainnya. Jika melanggar, diberikan denda berupa wajib mencari bahan material ritual ceriak nerang.
Baca juga: 10 Wisata Sejarah Bangka Belitung, Ada Tambang Terbuka Pertama Asia Tenggara
Saat ini denda tersebut diganti dengan uang senilai Rp 100.000 yang diserahkan langsung kepada dukun darat.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.