Masih di area yang sama juga terdapat pemakaman, yang berada di balik dinding benteng.
Alasan pemakaman diletakkan di sana adalah karena daerah tersebut relatif memiliki tanah yang cukup banyak.
Untuk diketahui, Liya Togo memiliki tanah yang relatif berbatu.
"Di mana-mana kan istilahnya tanah berbatu, kalau kami batu bertanah. Di sini dipilih sebagai tempat pemakaman karena alasan batu bertanah itu, di sini dianggap ada tanahnya," kata Mursida.
Baca juga: 3 Wisata Alam di Sulawesi Barat, Ada Negeri di Atas Awan
Lapangan yang ada di depan pemakaman dan masjid tersebut juga kerap digunakan untuk posepaan atau atraksi menendang. Di Wakatobi, posepaa hanya dilakukan di Liya.
Dikutip dari Kompas.com (14/5/2019), posepaa dilakukan untuk melihat ketangkasan para pemuda dalam mempertahankan negeri jika ada serangan musuh.
Sembari berkeliling, kami juga sempat melihat aktivitas warga setempat.
Pemburu wisata kuliner juga bisa mencicipi beberapa pangan khas setempat. Salah satunya adalah salamu, yang atau makanan yang dibuat dari ikan pari suir dan dimasak menggunakan bumbu buah belimbing dan kelapa goreng, seperti dikutip dari situs Jaringan Desa Wisata Kemenparekraf.
Salamu bisa dimakan bersama soami atau kasoami, yang merupakan olahan ubi kayu.
Kami sempat membeli kasoami untuk dicicipi bersama.
Satu buah kasoami dibanderol Rp 5.000 dan bisa dicicipi bersama beberapa orang karena ukuran yang cukup besar dan mengenyangkan.
Baca juga: 6 Fakta Kereta Api Pertama di Sulawesi, Lewati 16 Tempat Wisata
Ada pula perangi, olahan makanan laut yang dicincang halus dan diberi perasan jeruk nipis, serta bawang merah, cabai, dan garam secukupnya, seperti dikutip dari situs Liya Togo.
Aktivitas lainnya adalah warga yang menenun kain. Beberapa warga terlihat memiliki alat tenun di halaman rumah.
Sebab, Mursida menjelaskan, kebanyakan ibu-ibu memiliki pekerjaan lain, sehingga menenun kain biasanya dilakukan saat memiliki waktu senggang.
Menurut situs Jadesta, kain tenun Liya Togo disebut kain tenun Homoru atau Wuray Homoru. Dikerjakan oleh masyarakat di sela kesibukan bertani atau mencari ikan di laut.
Kain ini juga sering disebut Wuray Ledha.