Pelaut asing Antonio de Paiva yang berkunjung ke Siang tahun 1542 mencatat, pedagang Melayu telah menetap di Siang tahun 1490 untuk berniaga (Edward, 2002). Selain Siang, Tallo juga telah berkembang sebagai bandar niaga.
Kerajaan itu juga aktif mencari komoditas di luar pulau. Pada saat Raja Tunilabu ri Suriwa memerintah Tallo sekitar tahun 1490-an, ia memerintahkan pelayaran niaga ke Banda, Jawa, dan Malaka. Dia juga berusaha menduduki Flores, tetapi gagal (Edward, 2002).
Bandar-bandar niaga itu kian berkembang setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis. Peristiwa itu mendorong para pedagang dan pelaut mencari jalur pelayaran dan koloni baru yang strategis. Dan, mereka mendapatkannya di Siang serta Makassar.
Sadar akan lokasi Makassar yang sedemikian strategis, Raja Gowa ke-9, Karaeng Tumparissi Kalonna (1510-1546), mulai menoleh ke laut. Ia mengubah kebijakan pendahulunya yang semula berorientasi pada kehidupan agraris menjadi berorientasi pada perniagaan maritim.
Untuk mewujudkan visinya, ia memindahkan istana dan pusat pemerintahan dari Tamalate ke Benteng Sombaopu di dekat muara Sungai Jeneberang. Selanjutnya Sombaopu dijadikan bandar niaga kerajaan. Dari sinilah awal keterlibatan Gowa dalam dunia perdagangan maritim.
Apa yang dilakukan Raja Gowa itu mudah dipahami. Alfred Thayer Mahan, ahli yang membahas pengaruh laut terhadap sejarah, mengatakan, apabila pantai suatu negeri memungkinkan orang turun ke laut, negeri itu akan bergairah mencari hubungan ke luar untuk berdagang. Terlebih, Makassar dan daerah-daerah taklukannya memiliki komoditas andalan, yakni beras.
Pedagang Makassar sendiri memainkan peranan yang amat penting, yakni sebagai perantara perdagangan rempah dari Maluku dan kayu cendana dari Timor. Van der Chijs mencatat, setiap tahun pedagang Makassar memasok beras, pakaian, dan segala sesuatu yang disenangi di Banda demi mengumpulkan pala sebanyak-banyaknya (Edward, 2002). Rempah itu selanjutnya dijual kepada para pedagang yang berniaga di Makassar.
Komoditas lain yang sangat penting dan dikuasai pedagang Bugis-Makassar adalah beras. Kebutuhan beras di Maluku dan Malaka sebagian besar dipasok dari Makassar. Perdagangan beras demikian menguntungkan sehingga sejumlah penguasa Makassar membuat kebijakan surplus beras untuk ekspor. Anthony Reid menyebutkan, itulah kebijakan surplus beras pertama yang diorientasikan untuk ekspor.
Kebijakan itu antara lain diterapkan Raja Tallo Karaeng Matoaya di daerah taklukan yang kaya beras seperti Maros. Van Der Hagen seperti dikutip Anthony Reid (2011) menuliskan, pada 1606 di setiap kota dan pasar, raja mendirikan lumbung-lumbung beras yang isinya baru boleh dijual setelah ada hasil panen baru. Langkah itu untuk mencegah kekurangan pangan di saat paceklik.
Zaman berganti, Kerajaan Makassar takluk kepada VOC tahun 1667. Kejayaan Makassar dalam perdagangan maritim di Nusantara pun surut. VOC kemudian membuat kebijakan monopoli rempah dari Maluku dan memajaki perdagangan beras. Namun, bukan berarti tradisi perdagangan maritim yang dilakoni pedagang Bugis-Makassar mati.
Mereka bergeser ke Singapura yang telah menjadi bandar niaga baru nan ramai di bawah kekuasaan Inggris. Sebagian mencari lokasi berniaga baru seperti Jailolo, Banjarmasin, Johor, Pahang, Papua, Surabaya, Semarang, hingga Australia.
Jejak perniagaan maritim hingga sekarang masih berbekas. Tengoklah Pelabuhan Rakyat Paotere, Makassar, beberapa kapal kayu milik saudagar Bugis-Makassar hilir mudik membawa komoditas antarpulau. Hanya saja, komoditas yang mereka dagangkan tidak lagi didominasi beras, tetapi semen. (Budi Suwarna dan Aswin Rizal Harahap)