Emilia Tamu (38) kepada Kompas.com, Senin (29/1/2018) menuturkan, dirinya belajar dedang atau tenun dari mamanya sejak usia dewasa. Berawal dari sayak melihat prosesnya. "Selanjutnya mama saya melatih saya untuk dedang. Saat awal memang sangat berat untuk dedang karena prosesnya rumit. Tetapi, karena dilatih dan dipraktikkan terus menerus akhirnya menenun menjadi mudah," katanya.
“Saya berterima kasih kepada mama saya yang melatih saya untuk dedang kain tenun Rembong. Mama saya adalah guru pertama yang melatih saya secara langsung untuk dedang. Mama saya melatih saya mulai dari meracik bahan alami dari alam. Menuntun dan mendamping saya selama proses awal dedang. Bahkan mama saya duduk disamping saya untuk memberikan petunjuk dan menuntun saya agar bisa dedang,” sambung Emilia.
Dia menjelaskan, saat ini dirinya bisa menenun kain tenun bermotif Nagekeo dan Ngada juga Rembong. Selama dua minggu bisa menghasilkan satu tenun. Untuk sebulan bisa menghasilkan dua atau tiga kain tenun tergantung ukuran yang dipesan. Kain tenun motif Rembong dijual dengan harga Rp 500.000 tergantung ukurannya, sedangkan kain tenun motif Nagekeo dan Ngada berkisar Rp 200.000 sampai Rp 1.000.000.
"Kaum perempuan di kampung ini dan di seluruh Desa Kaju Wangi menenun kain tenun motif Nagekeo dan Ngada saat ini karena pemasarannya di pasar Riung, Kabupaten Ngada. Dan juga pembeli dari Kabupaten Nagekeo dan Ngada langsung memesannya kepada penenun di wilayah ini. Saat ini kaum perempuan jarang menenun kain tenun motif Manggarai karena tidak ada pasarannya. Kalau kain tenun selendang bisa dijual seharga Rp 200.000 per lembar tergantung ukurannya,” katanya.
Emilia menjelaskan, menenun kain tenun untuk mengisi waktu senggang karena pekerjaan pokok adalah petani di ladang dan kebun. Jika musim kerja kebun, petik kopi dan pungut kemiri maka dirinya tidak menenun. Langganan pembeli tenun berasal dari Kabupaten Nagekeo dan Ngada. Ukuran tenunan yang biasa dipesan adalah lebarnya satu meter dan panjangnya empat meter.
“Saya mulai menenun sejak tamat SD atau 15 tahun yang lalu. Kalau dihitung dengan bahan-bahan untuk menenun, saya hanya dapat untung kecil. Yang terpenting saya tetap merawat warisan leluhur serta penghargaan terhadap mama saya yang mendidik saya menenun,” katanya.
Emilia menjelaskan, hasil jual tenun untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga, membiayai pendidikan anak dan membiayai kesehatan. Sebulan bisa menghasilkan satu sampai tiga kain tenun tergantung pemesanan dari pelanggan.
“Selain untuk dijual, kain tenun juga dipakai oleh kaum perempuan dan laki-laki saat acara-acara adat, acara perkawinan juga pesta adat. Jadi kain tenun banyak kegunaannya,” jelasnya.
“Istri saya juga bisa menenun. Kini istri saya sudah usia lanjut sehingga aktivitas menenun diwariskan kepada anak-anak serta anak mantu di rumah. Kaum perempuan di desa ini juga memiliki penghasilan tambahan selain penghasilan dari suami mereka. Hasil tenunan dijual di pasar di Kabupaten Ngada dan Nagekeo pada hari pasar bahkan pembeli dari kabupaten tetangga langsung memesannya,” jelasnya.
Tua rumah menyuguhkan minuman kopi. Ini kebiasaan yang terus menerus diwariskan leluhur di kampung itu kepada tamu yang berkunjung. Kampung Marabola merupakan perkampungan transmigrasi lokal ketika masih satu dengan Kabupaten Manggarai sebelum dimekarkan menjadi Kabupaten Manggarai Timur. Seorang imam diosesan Keuskupan Ruteng yang membawa warga dari Manggarai untuk bertransmigrasi. Nama imam itu adalah Romo Simon Nama, Pr.
Selanjutnya warga setempat menginformasi aktivitas kaum perempuan di kampung itu menenun kain tenun. Kali ini kain tenunannya bermotif tenun Manggarai.
Berta Nues (39) saat dijumpai Kompas.com di rumahnya sedang menenun kain tenun motif songke. Motif songke merupakan tenun khas Manggarai.
“Saya menghasilkan satu kain tenun motif songke selama tiga minggu. Itupun diselesaikan apabila tidak ada pekerjaan lainnya. Saya seorang petani yang tetap mengurus lahan persawahan dan perkebunan. Saya menenun di waktu senggang. Harga tenunan songke dijual di Kota Ruteng berkisar Rp 450.000; sampai Rp 700.000. Uang hasil penjualan kain tenun dipergunakan untuk kebutuhan hidup keluarga serta membiayai pendidikan anak-anak sampai di perguruan tinggi,” tuturnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.