Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menjelajahi Desa Tenun di Manggarai Timur, Flores (2)

Kompas.com - 12/02/2018, 11:42 WIB
Markus Makur,
I Made Asdhiana

Tim Redaksi

Emilia Tamu (38) kepada Kompas.com, Senin (29/1/2018) menuturkan, dirinya belajar dedang atau tenun dari mamanya sejak usia dewasa. Berawal dari sayak melihat prosesnya. "Selanjutnya mama saya melatih saya untuk dedang. Saat awal memang sangat berat untuk dedang karena prosesnya rumit. Tetapi, karena dilatih dan dipraktikkan terus menerus akhirnya menenun menjadi mudah," katanya.

“Saya berterima kasih kepada mama saya yang melatih saya untuk dedang kain tenun Rembong. Mama saya adalah guru pertama yang melatih saya secara langsung untuk dedang. Mama saya melatih saya mulai dari meracik bahan alami dari alam. Menuntun dan mendamping saya selama proses awal dedang. Bahkan mama saya duduk disamping saya untuk memberikan petunjuk dan menuntun saya agar bisa dedang,” sambung Emilia.

Dia menjelaskan, saat ini dirinya bisa menenun kain tenun bermotif Nagekeo dan Ngada juga Rembong. Selama dua minggu bisa menghasilkan satu tenun. Untuk sebulan bisa menghasilkan dua atau tiga kain tenun tergantung ukuran yang dipesan. Kain tenun motif Rembong dijual dengan harga Rp 500.000 tergantung ukurannya, sedangkan kain tenun motif Nagekeo dan Ngada berkisar Rp 200.000 sampai Rp 1.000.000.

"Kaum perempuan di kampung ini dan di seluruh Desa Kaju Wangi menenun kain tenun motif Nagekeo dan Ngada saat ini karena pemasarannya di pasar Riung, Kabupaten Ngada. Dan juga pembeli dari Kabupaten Nagekeo dan Ngada langsung memesannya kepada penenun di wilayah ini. Saat ini kaum perempuan jarang menenun kain tenun motif Manggarai karena tidak ada pasarannya. Kalau kain tenun selendang bisa dijual seharga Rp 200.000 per lembar tergantung ukurannya,” katanya.

Emilia menjelaskan, menenun kain tenun untuk mengisi waktu senggang karena pekerjaan pokok adalah petani di ladang dan kebun. Jika musim kerja kebun, petik kopi dan pungut kemiri maka dirinya tidak menenun. Langganan pembeli tenun berasal dari Kabupaten Nagekeo dan Ngada. Ukuran tenunan yang biasa dipesan adalah lebarnya satu meter dan panjangnya empat meter.

“Saya mulai menenun sejak tamat SD atau 15 tahun yang lalu. Kalau dihitung dengan bahan-bahan untuk menenun, saya hanya dapat untung kecil. Yang terpenting saya tetap merawat warisan leluhur serta penghargaan terhadap mama saya yang mendidik saya menenun,” katanya.

Emilia menjelaskan, hasil jual tenun untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga, membiayai pendidikan anak dan membiayai kesehatan. Sebulan bisa menghasilkan satu sampai tiga kain tenun tergantung pemesanan dari pelanggan.

“Selain untuk dijual, kain tenun juga dipakai oleh kaum perempuan dan laki-laki saat acara-acara adat, acara perkawinan juga pesta adat. Jadi kain tenun banyak kegunaannya,” jelasnya.

Perempuan Flores di Kabupaten Manggarai Timur, NTT sedang menenun, Senin (29/1/2018).KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR Perempuan Flores di Kabupaten Manggarai Timur, NTT sedang menenun, Senin (29/1/2018).
Tua Teno Kampung Bui, Desa Kaju Wangi kepada Kompas.com menjelaskan, kaum perempuan di kampung ini dan di desa Kaju Wangi memiliki kemampuan menenun kain tenun motif Rembong. Saat ini mereka menenun kain tenun motif Nagekeo dan Ngada karena mudah dijual di pasar di Kabupaten Ngada dan Nagekeo.

“Istri saya juga bisa menenun. Kini istri saya sudah usia lanjut sehingga aktivitas menenun diwariskan kepada anak-anak serta anak mantu di rumah. Kaum perempuan di desa ini juga memiliki penghasilan tambahan selain penghasilan dari suami mereka. Hasil tenunan dijual di pasar di Kabupaten Ngada dan Nagekeo pada hari pasar bahkan pembeli dari kabupaten tetangga langsung memesannya,” jelasnya.

Penenun di FloresKOMPAS.COM/MARKUS MAKUR Penenun di Flores
Sore itu setelah makan siang, kami melanjutkan perjalanan menuju ke Kampung Marabola, Desa Legurlai. Kami tiba di kampung itu sekitar pukul 15.30 Wita. Setiba di rumah Valentinus D Nangi, kami langsung melaksanakan ritual kepok untuk meminta izin memasuki perkampungan tersebut.

Tua rumah menyuguhkan minuman kopi. Ini kebiasaan yang terus menerus diwariskan leluhur di kampung itu kepada tamu yang berkunjung. Kampung Marabola merupakan perkampungan transmigrasi lokal ketika masih satu dengan Kabupaten Manggarai sebelum dimekarkan menjadi Kabupaten Manggarai Timur. Seorang imam diosesan Keuskupan Ruteng yang membawa warga dari Manggarai untuk bertransmigrasi. Nama imam itu adalah Romo Simon Nama, Pr.

Selanjutnya warga setempat menginformasi aktivitas kaum perempuan di kampung itu menenun kain tenun. Kali ini kain tenunannya bermotif tenun Manggarai.

Berta Nues (39) saat dijumpai Kompas.com di rumahnya sedang menenun kain tenun motif songke. Motif songke merupakan tenun khas Manggarai.

“Saya menghasilkan satu kain tenun motif songke selama tiga minggu. Itupun diselesaikan apabila tidak ada pekerjaan lainnya. Saya seorang petani yang tetap mengurus lahan persawahan dan perkebunan. Saya menenun di waktu senggang. Harga tenunan songke dijual di Kota Ruteng berkisar Rp 450.000; sampai Rp 700.000. Uang hasil penjualan kain tenun dipergunakan untuk kebutuhan hidup keluarga serta membiayai pendidikan anak-anak sampai di perguruan tinggi,” tuturnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Angkringan Timbangan Tebu di Yogyakarta yang Hits dan Wajib Dikunjungi

Angkringan Timbangan Tebu di Yogyakarta yang Hits dan Wajib Dikunjungi

Jalan Jalan
JAB Fest Kombinasikan Seni dan Literasi, Dipercaya Dongkrak Wisatawan Minat Khusus di DIY

JAB Fest Kombinasikan Seni dan Literasi, Dipercaya Dongkrak Wisatawan Minat Khusus di DIY

Travel Update
8 Oleh-oleh Khas Gorontalo, Ada Kopi hingga Kain

8 Oleh-oleh Khas Gorontalo, Ada Kopi hingga Kain

Jalan Jalan
Rencana Pemindahan Lukisan Mona Lisa, Apa Masih di Louvre?

Rencana Pemindahan Lukisan Mona Lisa, Apa Masih di Louvre?

Travel Update
5 Pusat Oleh-oleh di Makassar, Bawa Pulang Makanan atau Kerajinan Tangan

5 Pusat Oleh-oleh di Makassar, Bawa Pulang Makanan atau Kerajinan Tangan

Jalan Jalan
6 Hotel Murah di Cilacap, Tarif mulai Rp 194.000

6 Hotel Murah di Cilacap, Tarif mulai Rp 194.000

Hotel Story
5 Tips Liburan dengan Open Trip yang Aman dan Menyenangkan

5 Tips Liburan dengan Open Trip yang Aman dan Menyenangkan

Travel Tips
3 Juta Wisatawan Kunjungi Banten Saat Libur Lebaran 2024, Lebihi Target

3 Juta Wisatawan Kunjungi Banten Saat Libur Lebaran 2024, Lebihi Target

Travel Update
Cara Menuju ke Wisata Pantai Bintang Galesong, 1 Jam dari Makassar

Cara Menuju ke Wisata Pantai Bintang Galesong, 1 Jam dari Makassar

Jalan Jalan
The 2nd International Minangkabau Literacy Festival Digelar mulai 8 Mei

The 2nd International Minangkabau Literacy Festival Digelar mulai 8 Mei

Travel Update
Wisata Pantai Bintang Galesong, Cocok untuk Liburan Bersama Rombongan

Wisata Pantai Bintang Galesong, Cocok untuk Liburan Bersama Rombongan

Jalan Jalan
Padatnya Wisatawan di Bali Disebut Bukan karena Overtourism

Padatnya Wisatawan di Bali Disebut Bukan karena Overtourism

Travel Update
Kunjungan Wisata Saat Lebaran 2024 di Kabupaten Malang Turun, Faktor Cuaca dan Jalan Rusak

Kunjungan Wisata Saat Lebaran 2024 di Kabupaten Malang Turun, Faktor Cuaca dan Jalan Rusak

Travel Update
Kemenparekraf Tegaskan Bali Belum Overtourism, tapi...

Kemenparekraf Tegaskan Bali Belum Overtourism, tapi...

Travel Update
Museum Benteng Vredeburg di Yogyakarta Akan Buka Kembali Juni 2024

Museum Benteng Vredeburg di Yogyakarta Akan Buka Kembali Juni 2024

Travel Update
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com