KOMPAS.com – Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno sempat melakukan kunjungan ke Desa Wisata Arborek di Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat pada Rabu (27/10/2021).
Dalam kunjungannya, salah satu tarian yang menyambut Sandiaga adalah Tari Cakalele atau tarian perang khas Maluku.
Baca juga: Arborek, Desa Wisata di Raja Ampat yang Punya Ikon Tersendiri
Ketua Pokdarwis Desa Wisata Arborek Ronald Mambrasar mengatakan bahwa meski tarian ini berasal dari Maluku, Tari Cakalele hadir di sebagian besar daerah di Papua.
“Asal-usul Tari Cakalele ini adalah tari perang. Kalau dilihat, mereka (penari) ada yang memegang parang. Hampir sebagian besar daerah di Papua ada Tari Cakalele,” tutur dia kepada Kompas.com di Desa Wisata Arborek, Kabupaten Raja Ampat, Rabu.
Ronald melanjutkan, makna dari tari perang yang kini menjadi bagian dari atraksi budaya adalah untuk menunjukkan bahwa dahulu para nenek moyang berperang dengan karakteristik seperti di Tari Cakalele.
Baca juga: Lika-liku Desa Arborek di Raja Ampat Jadi Desa Wisata, Sempat Ditentang Warga
“Kalau dulu, tarian ini dilakukan sebelum perang dimulai. Seperti menjemput musuh, jadi mereka melakukan tarian-tarian dulu,” sambung dia.
Menurut informasi dalam situs Warisan Budaya Takbenda Indonesia kelolaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbudristek), Tari Cakalele berasa dari desa-desa di Kecamatan Banda, Kabupaten Maluku Tengah.
Tarian ini menceritakan tentang peperangan yang dilakukan oleh masyarakat adat di desa-desa tarian ini berasal.
Baca juga: Jangan Rusak Terumbu Karang saat di Desa Wisata Arborek Raja Ampat
Melansir Kompas.com, Kamis (4/2/2021), yang mengutip buku Mengenal Tarian dan Seni Maluku dan Halmahera (2010) karya M. Noor Said, Tari Cakalele merupakan salah satu atraksi seni yang melambangkan banyak hal.
Beberapa di antaranya adalah rasa keberanian, ketangkasan, keperkasaan, dan rasa persekutuan. Umumnya, tari perang ini berisikan 5-30 penari.
Mengutip Bobo, Rabu (30/5/2018), dahulu terkadang ada penari Cakalele yang kerasukan roh. Alhasil, tarian pun dinamakan sebagai “cakalele”.
Baca juga: Perjalanan Desa Wisata Arborek Jadi Desa Terbersih di Papua Barat
Dalam bahasa Ternate, “cakalele” merupakan gabungan dari “caka” yang berarti roh dan “lele” yang berarti mengamuk. Cakalele diartikan sebagai roh yang mengamuk.
Tari Cakalele digambarkan sebagai tarian yang menggambarkan perjuangan masyarakat Maluku dalam membela kebenaran.
Awalnya, tari perang ini dipertunjukkan untuk memberi semangat kepada para pasukan saat melawan penjajah.
Baca juga: Tak Melulu Naik Kapal, Wisata ke Raja Ampat Bisa Pakai Pesawat
Tari Cakalele juga dikatakan sebagai penghormatan atas nenek moyang bangsa Maluku yang merupakan pelaut, dan dilakukan sebelum mengarungi lautan.
Dahulu, para pelaut akan melakukan ritual dengan mengadakan pesta makan, minum, dan berdansa. Mereka percaya bahwa ritual yang melibatkan Tari Cakalele akan mendapat restu dari arwah leluhur.
Baca juga: Cerita Perajin di Desa Wisata Arborek Raja Ampat yang Terdampak Pandemi
Saat melakukan tarian ini, para penari akan menggunakan pakaian perang. Pakaian antara penari laki-laki dan perempuan berbeda. Pakaian laki-laki didominasi oleh warna terang seperti merah dan kuning tua.
Terdapat filosofi di balik penggunaan warna merah pada penari laki-laki. Merah diartikan sebagai keberanian, dan selaras dengan sifat laki-laki di Maluku yang pantang menyerah.
Pakaian laki-laki terdiri dari penutup kepala atau tualipa, selempang atau salebutu, dan ikat pinggang atau goronamabiliku. Pakaian ini dilengkapi dengan peralatan perang seperti parang dan perisai.
Baca juga: Marina Star Sorong, Kulineran di Pelabuhan Sambil Nikmati Sunset
Biasanya, perisai atau salawaku yang digunakan memiliki motif tertentu. Motif ini dibuat berdasarkan perhitungan tertentu yang dipercaya mampu menangkis serangan musuh.
Sementara untuk pakaian perempuan, mereka hanya menggunakan pakaian adat sederhana yang dilengkapi dengan sapu tangan atau lenso.
Mengutip situs Jalur Rempah kelolaan Kemdikbudristek, terdapat satu hiasan khas yang menjadi identitas Tari Cakalele.
Baca juga: Itinerary Seharian Wisata di Kota Sorong, Nikmati Sunset dari Atas Tebing
Hiasan itu adalah burung Cenderawasih yang menjadi pelengkap kostum tarian dan dikenakan di kepala. Hiasan ini dilekatkan bersamaan dengan topi tembaga dari Portugis bernama Kapsete.
Bagi masyarakat Banda, burung Cenderawasih merupakan hal yang penting terutama dalam tatanan adat dan budaya mereka. Alhasil, jika burung Cenderawasih tidak terpasang di Kapsete, Tari Cakalele tidak bisa ditarikan.
Ketika sedang menari, orang-orang yang berpartisipasi dalam Tari Cakalele akan diiringi dengan musik tifa, suling, dan bia atau instrumen tiup dari kerang.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.