Popularitas pala sebagai produk rempah-rempah pun sampai ke mancanegara. Mezak Wakim dalam Jurnal Banda Naira Dalam Perspektif Sejarah Maritim menuturkan, awal perdagangan pala terjadi dengan bangsa Asia, seperti pelaut dan pedagang Melayu, India, China serta Arab.
Orang Banda, selain menjual pala dan fulinya, juga ikut serta dalam pelayaran perdagangan sampai ke Malaka, tempat berkumpul berbagai armada dagang. Mereka juga memiliki armada dagang sendiri yang mengangkut hasil-hasil bumi dari pulau-pulau lain ke Banda.
“Sebagai produsen tunggal buah pala saat itu, kepulauan yang kecil ini berhasil menarik para pedagang asal China, Asia selatan, dan Timur Tengah sekurang-kurangnya 2000 tahun yang lalu,” (Mezak Wakim, 2014:3).
Baca juga:
Apakah kamu pernah mendengar istilah Jalur Rempah? Ternyata hal tersebut berkaitan dengan sejarah Banda Neira.
Muhamad Iko Kersapati, dkk, dalam Jurnal Banda Neira: Bandar Rempah di Timur Nusantara menuturkan, melalui para pedagang yang telah memiliki jaringan perdagangan internasional tersebut, rempah Nusantara didistribusikan dan dipasarkan.
Rempah-rempah dari Kepulauan Banda dipasarkan melalui jalur darat dan laut hingga akhirnya bisa masuk pasaran Eropa. Rempah-rempah menjadi komoditas paling penting di sana.
“Jalur laut yang dilalui oleh para pedagang tersebut untuk membawa rempah Nusantara ini, dapat dikatakan merupakan cikal bakal jalur yang dikenal dengan jalur rempah (spice route),” (Iko Kersapati, dkk, 2021: 8).
Namun demikian, rempah-rempah dari Kepulauan Banda itu juga yang melatarbelakangi datangnya penjajah Eropa. Menjelang abad ke-16, buah pala yang menjadi hasil utama Kepulauan Banda merupakan komuditi dunia yang dibutuhkan masyarakat Eropa.
Orang Eropa pertama yang datang ke Kepulauan Banda adalah penjelajah Portugis, Laksamana Alfonso de Albuquerque. Pada November 1511, Albuquerque mengirimkan dua kapal layar untuk menemukan Kepulauan Banda (Mezak Wakim, 2014:3).
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.