SEMARANG, KOMPAS.com - Ada sebuah kelenteng yang sudah berusia ratusan tahun di Semarang, Jawa Tengah.
Kelenteng ini berada di sebuah jalan kecil yang bisa ditemukan saat menelusuri Gang Lombok, kawasan Pecinan, Semarang.
Baca juga: Menengok Klenteng Sin Tek Bio Pasar Baru, Berdiri Sejak 1698
Pada zaman dahulu kala, kawasan ini merupakan lahan hunian yang dikelilingi kebun cabai lombok.
Tak jarang orang yang hendak mencari keberadaan kelenteng ini, selalu luput dari pantauan. Ini karena selain letaknya memang di sebuah gang, kelenteng ini juga agak susah ditemukan.
Padahal, akses menuju kelenteng lawas ini bisa dilewati oleh mobil dan kendaraan lainnya. Lahan parkirnya pun cukup luas.
Pengunjung bisa leluasa melihat dengan jelas deretan bangunan tua yang berjajar di kawasan tersebut. Inilah Kelenteng Tay Kak Sie yang sudah ditetapkan sebagai situs cagar budaya.
Jika dilihat sepintas dari luar, kelenteng yang berada tepat di pinggir sungai ini memiliki luas bangunan yang lebih kecil jika dibandingkan dengan Kelenteng Sam Poo Kong.
Namun, bila dinilai dari segi arsitekturnya, kelenteng kaum Tionghoa ini tidak kalah memukau karena kaya akan berbagai ornamen.
Dari pantauan Kompas.com, di depan bangunan kelenteng ada patung Laksamana Cheng Ho.
Sementara di atap kelenteng berhiaskan sepasang naga tampak sedang memperebutkan matahari sebagai simbol penjaga kelenteng dari pengaruh jahat.
Tepat di depan pintu masuk terdapat singa jantan dan betina yang disimbolkan sebagai penolak bala. Selain itu, kedua singa ini melambangkan keadilan dan kejujuran.
Ada pula papan penjelasan sejarah penamaan Kelenteng Tay Kak Sie yang berarti Kuil Kesadaran Agung dengan catatan tahun pemerintahan Kaisar Dao Guang 1821-1850 dari Dinasti Qing.
Pada daun pintu kelenteng, terdapat lukisan sepasang panglima perang Qie Lan Pu Sa dan Wei Tuo Pu Sa.
Kelenteng Tay Kak Sie juga kaya akan ornamen dan simbol-simbol yang berhubungan dengan kepercayaan aliran Budha, Tao, dan Konfusianisme.
Bila dirunut sejarahnya, kelenteng lawas ini dibangun pada 1746 oleh seorang pedagang yang bernama Kho Ping dan Bon Wie.