Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menghirup Eksistensi Budaya dan Kemurnian Alam Baduy di Tengah Gempuran Arus Modernisasi

Kompas.com - 06/04/2016, 19:20 WIB

Hujan masih sedikit gerimis, namun supaya tidak kemalaman menuju perkampungan Baduy Luar saya, suami, dan kang Uha menembus jalan berbatu yang sangat licin. Tekad baja membuat kami berani menembus kegelapan malam yang begitu pekat dari Ciboleger menuju perkampungan Baduy Luar.

Saya tidak bisa melihat apa-apa selain jalan setapak berbatu di depan kaki saya yang diterangi senter. Gelap gulita, hanya terdengar suara gemericik air sungai dan suara jangkrik di sekeliling hutan yang kami lalui.

Hutan? Entahlah itu apa karena saya sungguh tidak bisa melihat saking gelapnya. Tidak ada cahaya bulan sama sekali, sesekali saya menggeser senter ke kiri dan kanan, hanya tampak pepohonan.

Kang Uha berjalan di depan kami dengan santainya, tidak seperti saya yang cukup kesulitan menempuh jalan berbatu nan licin dan kebingungan karena gelap yang menyergap.

Setengah jam perjalanan, akhirnya kami tiba di salah satu perkampungan Baduy Luar, saya menyenter ke kiri dan kanan banyak rumah-rumah suku Baduy namun seolah-olah di sana tidak ada penghuni karena tidak ada penenarangan sama sekali.

Agak lega karena samar-samar saya melihat beberapa anak muda yang berkumpul di depan rumah mereka dengan cahaya lampu seadanya. Ternyata perkampungan ini ada penghuninya.

Akhirnya kami tiba di sebuah rumah suku Baduy dan menginap di sana sebelum esok pagi melanjutkan perjalanan ke perkampungan Baduy yang lebih dalam.

Kami disuguhi kopi gula aren buatan mereka sendiri yang kemudian diseduh dengan air panas. Rasa kopi yang pahit menyatu pas dengan manisnya gula aren ini mampu menghangatkan tubuh kami yang agak menggigil karena kedinginan.

Malam pun bergulir menemani kami yang banyak bercengkerama mengenai keunikan suku Baduy.

"Suku Baduy memang tidak boleh menerima listrik sehingga kami sudah terbiasa dengan kegelapan."

Demikianlah penuturan Pak Karim sang tuan rumah tempat kami menginap. Kang Uha menambahkan,

"Padahal pemerintah sudah pernah menawarkan listrik tanpa bayar namun suku Baduy Luar dan Baduy Dalam tetap menolak."

Saya hanya bisa manggut-manggut mencoba memahami. Ternyata rumah suku Baduy berbentuk panggung dengan dinding dan lantai dari anyaman bambu sedangkan atap terbuat dari ijuk daun kelapa yang telah dikeringkan.

Hampir semua pemukiman bentuknya sama dan dengan penerangan seadanya sehingga saya sangat sulit membedakan rumah yang satu dengan yang lain.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com