Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menghirup Eksistensi Budaya dan Kemurnian Alam Baduy di Tengah Gempuran Arus Modernisasi

Kompas.com - 06/04/2016, 19:20 WIB

Bila hendak bepergian, Baduy Dalam tidak menggunakan alas kaki sekalipun pergi ke tempat yang jauh misalkan ke ibu kota untuk menjual hasil kerajinan tangan. Suku Baduy Dalam termasuk Pak Sapri tidak akan menggunakan kendaraan walau hanya sebentar sehingga membutuhkan waktu selama tiga hari untuk tiba di Jakarta.

"Saya sudah beberapa kali singgah di Poris," demikian tanggapan Pak Sapri saat saya mengatakan kalau kami tinggal di Poris, Tangerang.

Saya menawarkan ke Pak Sapri agar suatu saat bila berkunjung ke Tangerang mau beristirahat dan makan di rumah saya. Beliau senang sekali menerima tawaran saya.

Pak Sapri melanjutkan cerita beliau kalau Suku Baduy juga dilarang untuk bersekolah karena mereka memiliki aktivitas adat yang cukup tinggi sebagai sarana belajar yang dianggap paling baik buat generasi Suku Baduy.

Pak Sapri cukup lancar berbahasa Indonesia karena sudah sering berdialog dengan para wisatwan yang berkunjung ke perkampungan beliau. Ia juga sudah pernah diundang ke pameran budaya di Jakarta namun beliau tetap teguh memegang prinsip adat Baduy.

Pak Sapri menjelaskan kalau di perkampungan Baduy Dalam sama sekali tidak boleh ada barang-barang yang modern, bahkan tidak boleh memfoto perkampungan Baduy Dalam sama sekali. Sebaliknya bila di perkampungan Baduy Luar, berfoto sudah diperbolehkan.

Pak Sapri menjelaskan kalau pernikahan di Baduy Dalam adalah dengan perjodohan. Perkawinan mereka hanya dengan satu istri dan seorang laki-laki tidak diperbolehkan menikah dengan wanita lain kecuali istri sudah meninggal.

Ketatnya adat Baduy Dalam pengaturan pernikahan membuat angka perceraian di Baduy Dalam nyaris tidak ada. Bahkan salah satu hukum yang paling berat bagi warga Baduy Dalam adalah perzinahan.

Boleh dikatakan Baduy sangat tidak toleran terhadap perzinahan sehingga bagi seorang suami Baduy Dalam yang berselingkuh dengan wanita Baduy Dalam yang biasanya lebih muda pasti akan dikeluarkan dari suku Baduy Dalam.

Namun bila pelanggaran berupa kesalahan 'kecil' seperti diam-diam menaiki kendaraan saat bepergian akan diberikan hukuman lebih ringan. Pertama akan dipanggil oleh Jaro (kepala perkampungan), diberi peringatan, dan kemudian dimasukan ke dalam rumah tahanan adat selama 40 hari.

Bila masa hukuman hampir selesai, sang pelanggar adat akan ditanya apakah dirinya masih mau berada di Baduy Dalam atau ingin dikeluarkan menjadi warga Baduy Luar.

Rumah hukuman adat ini bentuknya bukan seperti penjara namun rumah biasa yang tetap memungkinkan ‘tahanan’ melakukan aktivitas harian sambil terus diberi bimbingan dan pelajaran adat.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com