Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menghirup Eksistensi Budaya dan Kemurnian Alam Baduy di Tengah Gempuran Arus Modernisasi

Kompas.com - 06/04/2016, 19:20 WIB

Ternyata isolasi yang tercipta tidak mampu menutupi hasrat para remaja akan teknologi. Bedanya para remaja ini tahu batasan dan menjadikan teknologi sebagai sesuatu yang bisa mempermanis hidup namun tidak membiarkan dirinya diperhamba oleh teknologi.

Pengalaman sehari berada di perkampungan Baduy mengajarkan saya banyak hal tentang kehidupan. Betapa Suku Baduy yang terkenal primitif inilah yang ternyata mampu memberikan saya kesempatan menikmati kesegaran alam yang menyatu dengan keagungan budaya yang terus terjaga sehingga bisa memberikan saya sebuah kesempatan langka yang tidak bisa didapatkan di mana pun di muka bumi.

Budaya suku Baduy khususnya Baduy Dalam yang ternyata tidak tergerus gempuran modernitas dan globalisasi inilah yang menjadi sebuah magnet yang demikian kuatnya menarik saya untuk datang berkunjung.

Demikianlah seharusnya Bangsa kita harus banyak belajar dari suku Baduy ini yang berani berbeda sehingga keunikannya mampu menggetarkan hati para wisatawan untuk datang berkunjung.

Bagaimana mungkin suku Baduy yang tidak berpendidikan ini bukannya terpengaruh malah sebaliknya berhasil memengaruhi mata dunia untuk datang berkunjung?

Bagaimana pula suku yang katanya terbelakang inilah justru tidak pernah mendapatkan seminar pernikahan namun paling setia terhadap pasangan.

Tiadalah pula mereka mengerti tentang pemanasan global atau emisi CO2 namun kesetiaan merawat hutan dan tanah seolah mempermalukan para cendekiawan yang jauh-jauh belajar ke negeri orang demi mendapatkan ilmu tentang penghijauan.

Dokter mana pula yang mengajarkan mereka akan pentingnya mengkonsumsi makanan organik yang menjadi suatu barang mahal bagi masyarakat kota. Pun mereka tidak sempat bersekolah demi belajar mengenai limbah yang sulit terurai namun lihatlah segala barang yang mereka pergunakan berasal dari alam sehingga akan mudah kembali menyatu ke alam.

Tidak juga mereka paham mengenai ilmu managemen namun mengapakah budaya kerja sama dan gotong royong demikian kuatnya mengakar ke dalam sanubari?

Siapa pula yang sempat mengajarkan Suku Baduy tentang ekonomi pembangunan sehingga demikian mencintai dan bangga memakai produk buatannya sendiri?

Belum lagi mengenai swasembada pangan yang dikelola dengan baik sehingga hampir tidak pernah kekurangan beras apalagi sampai mengimpor he..he...

Jadi, sebenarnya siapakah yang lebih maju, kita para penduduk kota ataukah suku Baduy yang 'terbelakang' itu? Saya pun menarik kesimpulan agar saya jangan suam-suam kuku. Saya harus memilih menjadi panas sekalian atau dingin sekali.

Bangsa kita boleh saja menyerap modernisasi namun jangan tanggung-tanggung jadilah seperti bangsa yang sangat maju itu. Jangan hanya menjadi konsumen teknologi saja tanpa memproduksi sama sekali.

Bila tidak sanggup apakah lebih baik kita kembali seperti masyarakat Baduy Dalam yang ternyata jauh lebih baik dalam praktik kehidupan?

Menyerap budaya modern boleh-boleh saja namun jangan kita kehilangan jati diri karena sama seperti saya yang jatuh cinta pada keunikan Budaya Baduy, demikian juga keunikan dan jati diri Indonesialah yang menjadi daya tarik Bangsa kita di mata negara lain.

Bila semua budaya bangsa kita melebur dengan dunia barat, apa yang membedakan kita dengan bangsa lain? Kelak Indonesia hanyalah tinggal nama dan kenangan!

Artikel ini ditulis Rahayu Damanik dan sebelumnya tayang di Kompasiana dengan judul yang sama.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com