Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menghirup Eksistensi Budaya dan Kemurnian Alam Baduy di Tengah Gempuran Arus Modernisasi

Kompas.com - 06/04/2016, 19:20 WIB

Pak Sapri kemudian menemani saya dan suami berjalan-jalan menunjukkan beberapa tempat khas suku Baduy seperti tempat menyimpan beras dan tempat menumbuk padi. Beliau menjawab semua pertanyaan saya dengan sabar sekali.

"Pak, bagaimana harapan Bapak untuk anak-anak Bapak kelak? Apakah Bapak ingin anak-anak Bapak tetap menjadi warga Baduy Dalam?" saya yakin Pak Sapri pasti 100 persen ingin anak-anaknya tetap menjadi warga Baduy Dalam yang menjunjung tinggi adat Baduy.

Saya kaget bukan main ketika beliau menjawab kalau semua itu tergantung anaknya. Beliau tidak pernah memaksakan bagaimana anaknya ke depan karena sesuatu yang dipaksakan tidak akan baik hasilnya.

Anak kedua beliau ternyata kini sudah keluar dari Baduy Dalam karena jatuh cinta pada handphone sehingga ingin hidup layaknya manusia modern lain.

Pak Sapri yang sudah memiliki delapan orang anak ini membebaskan anak keduanya tersebut mengikuti kemauannya dengan pesan khusus, asalkan dia mampu menghidupi dirinya sendiri. Berjuang di luar tanah Baduy Dalam yang pasti demikian keras.

Berbeda dengan Baduy Dalam yang sangat menjunjung tinggi budaya gotong royong dan memiliki hasil alam yang berlimpah karena tanah yang sangat subur.

Ada hal lain yang membuat saya takjub di mana Pak Sapri mengatakan kalau Suku Baduy tidak boleh menggunakan berbagai jenis pupuk. Artinya tidak ada pestisida, insektisida, hormon pertumbuhan, atau obat-obatan dalam mengolah tanaman di ladang mereka.

Semua bahan pangan diolah secara alami seperti yang dilakukan nenek moyang sejak ratusan tahun yang lalu. Beras dan buah-buahan yang mereka tanam adalah benar-benar murni produk organik yang sangat menyehatkan karena tidak terkontaminasi elemen berbahaya, seperti pada buah, sayuran, dan beras non-organik yang biasa kita konsumsi.

Padahal produk non-organik itu sangat berbahaya karena sedikit banyaknya mengandung karsinogen pemicu tumor atau kanker dalam tubuh.

Tampaknya penanaman atau produksi bahan pangan secara organik kini mulai banyak ditiru sehingga produknya bisa dijual ke warga kota besar yang peduli pada kesehatannya.

Pak Sapri buru-buru merogoh isi tas tentengnya. Beliau mengeluarkan buah duku dan memberikan pada saya.

"Coba makan, rasanya berbeda." Wahhhhh benar-benar buah duku yang manis, biasanya saya kurang suka duku namun ini berbeda karena rasa asamnya nyaris tertutup dengan rasa manis dan yang paling menyenangkan bijinya juga kecil-kecil sehingga kadang langsung saya telan berserta biji kecil yang empuk.

Saya semakin mengagumi hasil tanaman yang benar-benar ditanam tanpa pupuk dan hanya mengandalkan kesuburan tanah.

"Simpan ya nomor anak Bapak yang pertama, namanya Aldi. Nanti bila ada apa-apa bisa telepon," demikian pesan Pak Sapri. Namun HP hanya akan aktif bila Aldi sedang berada di luar Baduy Dalam karena selain tidak diperbolehkan mengaktifkan HP juga tidak ada sinyal di daerah Baduy Dalam.

Saya semakin terpesona dengan kebaikan hati Pak Sapri yang walaupun sangat menjunjung tinggi budaya asli Baduy namun sangat ramah dan terbuka dengan warga luar Baduy seperti saya.

Ketika perjalanan pulang ke Ciboleger, saya bertemu dengan anak-anak remaja wanita dan pria Baduy Dalam. Mereka ternyata sedang keluar dari area Baduy Dalam karena ingin membeli berbagai keperluan di Ciboleger yang tidak bisa mereka hasilkan sendiri seperti ikan asin dan garam.

Sebenarnya warga Baduy Dalam tidak boleh melakukan jual beli dengan uang dan hanya boleh melakukan barter, namun kini banyak warga Baduy Dalam membeli berbagai kebutuhan yang tak bisa mereka hasilkan sendiri dengan menggunakan uang.

Saat saya bertanya apakah tidak capek harus jauh-jauh membeli keperluan dari Baduy Dalam ke Ciboleger ternyata dengan malu-malu para remaja Baduy Dalam tersebut mengaku sangat senang bisa ke Ciboleger. Walau jauh tetapi mereka bisa menonton TV sebentar di rumah penduduk Ciboleger.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com