Dalam buku "Kerajaan Islam di Jawa" disebutkan bahwa setelah Sunan Prawoto naik tahta menggantikan Raden Trenggana, muncul perlawanan dari Pangeran Sedo Lepen.
Sunan Prawoto pun meninggal di tangan Arya Panangsang, suruhan Pangeran Sedo Lepen.
Namun di sisi lain, sang pangeran yang juga adik dari Raden Trenggana itu gugur dalam pertempuran tersebut.
Konflik yang terjadi di dalam kesultanan ini baru berakhhir setelah Ratu Kalinyamat dan Jaka Tingkir berhasil mengalahkan Arya Panangsang.
Baca juga: Nasi Kropokhan, Kuliner Raja Demak yang Terlupakan
Setelah bekerja sama dengan Ki Pemanagan dan Ki Penjawi, Jaka Tingkir berhasil naik sebagai raja dan menyandang gelar Sultan Hadiwijaya.
Kejayaan Kota Demak secara resmi berakhir pada tahun 1568 setelah Jaka Tingkir memindahkan pusat pemerintahan ke Pajang.
Kota Demak pun diubah statusnya menjadi kabupaten yang dipimpin oleh seorang kerabat raja.
Kerajaan Demak meninggalkan beragam jejak sejarah di Kota Demak. Tak heran jika kota itu menjadi salah satu destinasi wisata religi dan edukasi.
Adapun obyek wisata yang paling populer adalah Masjid Agung Demak.
Bangunan yang didirikan sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Demak ini berdiri sejak abad ke-15 Masehi. Masjid yang memiliki simbol hewan bulus ini menjadi salah satu masjid tertua di Indonesia.
Wisatawan dapat melihat arsitektur tradisional penuh makna di masjid ini. Meski memiliki desain yang sederhana, Masjid Agung Demak tetap terlihat megah.
Atap masjid yang tersusun dari tiga lapis bentuk limas konon memiliki makna akidah dari agama Islam, yaitu Iman, Islam dan Ihsan.
Baca juga: Demak Rintis Kawasan Wisata Pelestarian Kuntul
Pilar-pilar yang terdapat di bangunan ini pun konon juga dibuat langsung oleh para Wali Songo.
Pintu yang terdapat di masjid ini memiliki kisah yang unik. Pintu yang disebut sebagai Pintu Bledheg itu kabarnya dapat menangkal petir. Pintu tersebut juga merupakan prasasti Candra Sengkala yang dibut oleh Ki Ageng Selo.