Perbedaan paling mencolok lainnya adalah durasi puasa di New York dan Indonesia.
Di New York, durasi puasa dari hari pertama Ramadhan hingga menjelang Idul Fitri bisa berubah menjadi lebih panjang, berbeda dengan Indonesia yang cenderung stabil.
“Jadi, misalnya hari pertama itu imsak atau subuh itu 05.15 (waktu setempat), sekarang di hari sekian Ramadhan ini, mulai sahurnya dan subuhnya itu 04.40 (waktu setempat),” tuturnya.
“Sedangkan untuk buka puasanya dia mundur, hari pertama Ramadhan buka puasa 19.20 (waktu setempat) tapi sekarang mundur jadi 19.40 (waktu setempat)," tambahnya.
Pada awalnya, perbedaan durasi tersebut tidak begitu terasa, tapi semakin hari membuat ibadah puasa menjadi cukup berat.
Baca juga:
Walaupun durasinya semakin lama, bulan Ramadhan tahun ini jatuh saat musim semi, sehingga baginya cuacanya tidak panas dan cenderung dingin.
Menurutnya, rasa haus bukan masalah, hanya terkadang rasa lapar dan perut keroncongan yang cukup terasa.
Sebelum bulan puasa tiba, ia sempat memberi penjelasan kepada tetangga apartemennya yang non-muslim soal dirinya yang akan bangun pada subuh atau tengah malam untuk memasak.
“So far (sejauh ini) belum ada keluhan dan komplain dari tetangga untuk aktivitas sahur selama di apartemen,” katanya.
Sebenarnya, jika ingin bersantap, ia bisa pergi ke masjid atau Islamic Center yang ada di New York yang menyediakan makanan.
Namun, ia memilih sahur di apartemen lantaran takut keluar pada malam hari.
Saat buka puasa, Kharishar bercerita bahwa ia masih sering makan bersama rekan-rekan mahasiswa dari Indonesia, jadi kerinduan akan suasana buka bersama seperti di Tanah Air masih bisa diatasi.