SUMBAWA, KOMPAS.com - Asap mengepul dari dapur bertungku kayu siang itu, Selasa (4/4/2023), di Desa Tepal, Nusa Tenggara Barat (NTB). Meski matahari tengah terik, suasana di dapur beratap terpal biru itu tetap sejuk.
Di dapur tersebut, terlihat Sridariman (46) cekatan memotong daging sapi menggunakan parang, sedangkan dua perempuan lain tampak mengaduk kuah sayur di atas tungku kayu.
Baca juga: Istana Dalam Loka, Saksi Kejayaan Kesultanan Sumbawa
Di rumah depan, ada puluhan perempuan sedang memasak bersama. Mereka bahu-membahu memotong sayur, menusuk sate, mengulek bumbu, dan menanak nasi.
Desa Tepal, yang disebut selamat saat letusan dahsyat Gunung Tambora tahun 1815 silam, dikenal kaya akan tradisi.
Warga di desa ini begitu erat menjaga harmoni dengan alam. Hampir semua aktivitas yang ada memiliki cerita turun temurun yang diwariskan nenek moyang, salah satunya adalah kena dila.
Kena dila adalah tradisi unik selama bulan Ramadhan di Desa Tepal yang terletak di Kecamatan Batu Lanteh, Kabupaten Sumbawa, NTB.
Baca juga: Dampak Letusan Tambora, 200 Tahun Lalu dan Kini
Kena dila artinya warga yang mendapat giliran menyiapkan berbagai santapan berbuka, tarawih, tadarus, dan sahur.
Saat bulan Ramadhan, tradisi bergotong royong dalam menyajikan aneka santapan dalam kena dila mulai dilakukan kaum perempuan sejak pukul 12.00 Wita. Berbagai masakan akan dibuat. mulai dari hidangan pembuka, hidangan utama, dan hidangan penutup.
Menu utamanya yaitu sayur khas Desa Tepal dengan daging ayam, ada pula daging sapi yang tetap dicampur dengan sayuran. Sementara itu, menu pembukanya yakni es buah, diakhiri dengan puding sebagai hidangan penutup.
"Kami masak goreng (soto) daging sapi dan sayur blunak," kata Sridariman.
Blunak adalah tanaman yang tumbuh subur di daerah dingin dan lembap.
"Ada juga sayur budak yaitu rotan muda yang dibuat pelu dicampur aru, kecambah, ikan dan santan kelapa," ujarnya.
Selain itu, ada juga menu sepat, ikan bakar, sate, dan semur daging.
Baca juga: Gubernur NTB Berencana Perbanyak Direct Flight ke Lombok-Sumbawa
Para warga perempuan juga bergotong royong untuk membuat kue yang akan diantar ke masjid saat tarawih dan tadarus.
"Kami siapkan aneka jajanan untuk tarawih dan tadarus," tutur Sridariman.
Malam itu, kena dila digelar di rumah Kepala Desa Tepal. Tak heran jika banyak warga yang membantu dan bergotong royong membuat aneka panganan dan hidangan.
Saat kena dila, setiap rumah warga yang mendapat giliran akan menyiapkan menu berbuka puasa, jajanan tarawih, jajanan tadarus, dan makanan sahur.
Kepala Desa Tepal, Sudirman mengatakan, tradisi kena dila sudah dilakukan secara turun-temurun.
"Kena Dila itu dikenal hanya ada di Desa Tepal. Bedanya dengan tradisi kena lu' yang ada di beberapa desa di Kabupaten Sumbawa yaitu pada makan bersama saat sahur dan berbuka," kata Sudirman.
Namun, tradisi kena dila di Desa Tepal disebut lebih meriah karena meliputi proses gotong royong memasak, makan bersama, membawa aneka jajan saat tarawih dan tadarus, serta makan sahur bersama.
Baca juga: Yoyo Sekongkang, Surga Tersembunyi untuk Surfing di Sumbawa
Sebelum masuk bulan Ramadhan, lanjutnya, digelar perembukan atau rapat antara ketua RW (Rukun Warga), ketua RT (Rukun Tetangga), pengurus masjid, dan perangkat desa untuk membagi rumah mana yang akan mendapat giliran kena dila.
Dalam satu malam, tradisi kena dila akan dilakukan bergiliran terdiri dari 10-15 rumah warga di satu RT. Tradisi ini dilakukan sampai malam ke-29 Ramadhan.
Saat malam Idul Fitri, kena dila akan dilakukan di semua rumah warga. Bahkan, tradisi makan bersama akan digelar di masjid oleh warga Desa Tepal.
Bukan hanya makan bersama, bagi warga yang tidak ingin makan, akan diberikan sayur dan jajan untuk dibawa pulang ke rumah.
Ketika kena dila, warga akan mengundang tetangga, keluarga, tokoh agama dan tokoh masyarakat yang ada di sekitar rumah untuk menyantap aneka hidangan khas yang sudah disiapkan.
Baca juga: Kejarlah Ombak sampai Sumbawa Barat
Sebelum berbuka, akan digelar tahlilan, zikir, dan doa bersama yang dipimpin oleh seorang tokoh agama. Tempat duduk laki-laki dan perempuan dipisahkan oleh sekat berupa dinding atau tirai.
Ketika azan berkumandang, warga mulai menyantap hidangan pembuka dan utama. Suasana kekeluargaan kental terasa saat kena dila berlangsung.
Keesokan harinya, kena dila dilakukan di rumah Mama Lidya. Sebelum beduk dipukul, tamu undangan sudah berkumpul membentuk lingkaran di ruang tamunya.
Menu utama untuk berbuka waktu itu adalah sayur mentimun dan daging ayam.
Sementara itu, besoknya kena dila dilaksanakan di rumah Mama Yuyun. Menunya sayur khas Tepal yaitu mentimun besar yang dicampur santan kelapa dan daging ayam.
Baca juga: 5 Wisata Religi di Lombok Barat NTB, Ada Makam di Tengah Laut
Meski bulan Maret ini belum musim panen, tetapi warga desa tetap bersedekah saat bulan Ramadhan.
"Alhamdulillah meski keadaan serba terbatas, kami masih bisa gelar tradisi kena dila," kata Mama Yuyun.
Menurut tokoh adat Desa Tepal, Muntaka (62), bagaimana pun sulitnya kondisi ekonomi saat ini, warga Desa Tepal tetap menggelar tradisi tersebut.
Kena dila juga dapat dilihat dari status sosial keluarga sambung Muntaka. Untuk keluarga yang mampu, pasti akan mengundang lebih banyak tetangga dan sanak saudara.
"Menunya juga beda tergantung kemampuan ekonomi keluarga yang dapat giliran kena dila," kata Muntaka.
Selain silaturahmi, kena dila bisa menjadi berkah tersendiri untuk bersedekah pada bulan Ramadhan.
Baca juga: 5 Tips Mendaki Gunung Rinjani NTB buat Pemula, Pahami Prosedur
Salah seorang warga bernama Gita (23) mengatakan, kena dila termasuk tradisi yang wajib dihadiri. Tujuannya adalah menghargai undangan dan memperkuat tali silaturahmi.
"Jika ada undangan dari rumah keluarga kita dan tetangga yang (menggelar) kena dila maka kita wajib datang dan tidak berbuka puasa di rumah," kata Gita.
Menurut Gita, undangan tersebut disampaikan secara lisan sembari mendatangi rumah satu-persatu. Jadi warga tidak makan sendirian di rumahnya karena akan datang ke rumah tetangga yang mengundang.
"Kecuali tidak ada keluarga yang mengundang, baru akan berbuka di rumah sendiri di hari itu pada bulan Ramadhan," jelas Gita.
Baca juga: 12 Wisata Lombok NTB Selain Pantai, Ada Goa dan Bukit
Bagi anak muda seperti Gita, kena dila menjadi ajang berdiskusi dengan teman sebaya. Mereka menghabiskan waktu dengan mengobrol, membahas isu terkini seputar desa, dan meramaikan rumah yang menjadi lokasi kena dila.
"Kalau kita datang ke rumah yang kena dila, nanti orang itu juga akan datang ke rumah kita saat dapat giliran. Jadi ramai di rumah kita, nanti istilahnya basiru," tuturnya.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.